"Siapa?"
"Kakaknya Hera. Kemarin siang dia ke sini, bilang kalau kamu kecelakaan. Saya udah bilang enggak apa-apa, tapi dia tetep kekeh perbaikin motornya Nadia."
Inka berutang banyak pada Mas Endi. Entah dengan cara apa Inka membalas semuanya. Diraihnya ponsel dengan layar sedikit retak di atas meja, mencari kontak Mas Endi lalu menempelkannya di telinga. Walaupun kata terima kasih masih sangat kurang, setidaknya Inka ingin mengucapkannya sekarang.
"Halo, Mas?"
"Ada yang kelupaan di rumah?"
Inka menggeleng meski tahu Mas Endi tidak melihatnya. "Enggak, aku mau bilang makasih."
"Untuk?"
"Alasan Mas Endi keluar kemarin siang."
"Ohh.. Itu.."
"Jangan terlalu baik, Mas. Aku enggak tau balesnya."
"Apa yang Mas butuhin sekarang, itu satu-satunya cara balas budi."
Obrolan mereka kemarin langsung terngiang di kepala Inka. "Mas, aku belum mikir ke sana."
"Mas serius. Mulai sekarang, kamu harus pikirin tentang hubungan kita ke depannya."
"Apa itu enggak terlalu cepat, Mas?" tanya Inka hati-hati.
"Tidak sama sekali. Justru niat awal Mas itu langsung lamar kamu, bukan jadiin kamu pacar. Tapi, aku tau kamu pasti nolak."
Mata Inka membulat sempurna. Tidak menyangka Mas Endi punya niat senekat itu. Dari awal katanya?
"Selain itu, kamu masih utang maaf. Tadi pagi kamu enggak pamit sama Mas."
"Wulan pengen cepet-cepet balik ke kosan Mas."
"Mas enggak terima permintaan maaf via telpon."
"Mas.. Halo? Halo.."
Inka menjauhkan ponsel dari telinga. Sambungan teleponnya sudah terputus. Inka mendengkus sebal, ini pasti akal-akalan Mas Endi agar Inka mendatanginya. Kalaupun bertemu nanti, kemungkinan besar Mas Endi akan membahas hubungan mereka. Inka harus jawab apa?
***
Kembali ke rutinitas awal. Yap, betul! Proposal. Sayangnya, siang ini Inka terlambat menemui Bu Nia sehingga ia harus menunggu beliau selesai rapat. Inka memerhatikan suasana kantin yang cukup padat sambil mengunyah batagornya. Hampir tidak ada kursi yang kosong, selain di depannya. Karena kursi sampingnya sudah diduduki Wulan.
"Kalau enggak bimbingan, lo ngapain ke kampus?"
"Bosen gue di kosan," jawab Wulan lalu menusuk satu bakso goreng milik Inka.
"Belum dapet gebetan baru?"
"Istirahat dulu. Fokus skripsi."
Inka melirik sekilas dengan ujung bibir berkedut. "Ihh merinding gue denger lo ngomong gitu."
Wulan tidak membalas namun garpunya kembali mendarat di piring Inka. Sebelumnya Wulan juga memesan batagor tapi ketika Inka lihat, ternyata piring Wulan sudah bersih. Inka menggeleng pelan lalu menjauhkan piring miliknya dari Wulan.
"Satu lagi, beb."
"Enggak," seru Inka memasukkan bakso ke dalam mulutnya.
"Bentar bentar, itu si belatung nangka kenapa ngelihat ke sini terus?"
Inka menghela napas. Siapa lagi kali ini orang tak berdosa yang Wulan sebut belatung nangka? Inka melirik sekilas dan mengikuti arah pandang Wulan. Tidak jauh di depan sana, Nayla dan Syifa berjalan dengan senyum lebar ke arah meja Inka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Atap, Satu Kampus
Romansa"Saya manggilnya Pak atau sayang?" Endi menghela napas pelan lalu menjawab, "Emang kamu berani manggil saya sayang di kampus?" Inka mengendikkan bahu tak acuh. "Kenapa nggak?" Endi mendengus, "Di rumah aja kamu nggak pernah manggil sayang." "Jadi, s...