Extra Part 2

116K 6.9K 12
                                    

“Hera, hari ini kamu jadi jalan keluar?”

Hera yang tengah menggoreng ayam mengangguk semangat. “Jadi, Kak. Nanti sore Hery jemput di sini hehe.”

Tangan Inka berhenti memotong kacang panjang dan menoleh ke samping. “Mas Endi udah tau?” tanya Inka dengan suara pelan.

Terdengar helaan napas berat dari mulut Hera diikuti gelengan lemah. “Aku niatnya nggak mau kasih tau.”

“Loh? Kenapa?”

“Males ah, Kak. Mas Endi tuh cerewet banget kalau aku punya pacar.”

“Tetep aja, Hery kalau jemput di sini ya pasti Mas Endi tau.”

“Kak Inka bilang aja itu temen aku.”

Inka mengelus lembut perutnya sambil mengerjap beberapa kali. “Sekarang aku nggak boleh bikin dosa, kasian dedeknya.”

Hera ikut menatap perut Inka. “Sekali ini aja, Kak. Nggak kasian apa liat aku?”

“Bukannya gitu,” ucap Inka gemas sembari mencubit pipi Hera. “Mas Endi tuh sayang sama kamu makanya dia jadi tegas kalau kamu punya pacar.”

Dengan wajah cemberut Hera kembali melanjutkan kegiatan goreng menggorengnya. “Tapi menurut Kakak, Hery itu gimana?”

“Emm. Dari tampangnya sih kayak anak baik-baik.”

“Apa lagi?”

Inka mengedikkan bahu. “Poin pentingnya, dia lebih ganteng dari Mas Endi,” kata Inka diakhiri kekehan.

Hera tertawa puas mendengar pendapat Inka. “Gawat! Bisa-bisa Mas Endi makin nggak setuju kalau denger Kak Inka ngomong gitu.”

Inka ikut tertawa, di kepalanya bahkan terbayang wajah masam Mas Endi. Dari dulu itu adalah satu hal yang paling Mas Endi tidak bisa sembunyikan. Inka bisa langsung tahu dari raut wajahnya jika suaminya itu cemburu.

Tidak lama, orang yang mereka bicarakan telah tiba. Terdengar dari pintu yang dibuka kemudian ditutup. Hari ini Mas Endi memang hanya mengajar satu kelas pagi.

“Inka?” panggil Mas Endi.

“Di dapur, Mas!” teriak Inka.

“Takut banget sih istrinya ilang,” ledek Hera begitu Mas Endi ikut bergabung.

“Anak kecil mana ngerti,” balas Mas Endi merangkul bahu Inka.

“Mas, ganti baju dulu,” titah Inka sembari menyikut pelan perut Mas Endi.

“Tuh, disuruh ganti baju. Sana, sana,” usir Hera.

Seakan tak peduli dengan kehadiran Hera. Sebelum beranjak, Mas Endi terlebih dahulu mengecup pipi Inka. Hera secara terang-terangan memasang wajah geli sementara Inka hanya bisa tersenyum menahan malu.

***

“Mas kenapa sih nggak pernah suka sama pacar Hera?” tanya Inka lalu ikut bergabung di atas tempat tidur. Tepat di samping suaminya yang sudah lebih dulu berbaring.

Mas Endi menempelkan ponsel di telinga kirinya—menunggu seseorang di seberang sana mengangkat panggilannya—dengan kening berkerut. “Hera itu nggak pinter milih cowok.”

“Maksudnya?” Inka mengusap kening Mas Endi agar berhenti mengenyit.

“Kamu liat aja mantan-mantan sebelumnya. Nggak ada yang beres.”

“Kamu aja yang terlalu posesif, Mas,” gumam Inka.

“Coba kamu yang telepon. Hera di mana sekarang,” titahnya setelah menyerah menghubungi adiknya. Mas Endi duduk bersandar dikepala tempat tidur dan meletakkan ponselnya di atas nakas. Kemudian meraih ponsel Inka dan menyerahkannya pada si pemilik.

Inka melirik sinis menanggapi sikap posesif Mas Endi yang semakin menjadi-jadi. “Mas, Hera itu udah gede. Dia juga tau kok batasannya.”

“Aku cuma mau mastiin Hera udah pulang atau belum.”

Jawaban Mas Endi barusan membuat Inka merubah posisinya menjadi duduk di atas tempat tidur. “Ini yang bikin Hera males cerita sama kamu.”

“Salah aku di mana? Sebagai kakak aku cuma berusaha jaga adik aku, sayang.”

“Tapi nggak gini juga dong, Mas!”

“Inka, aku cowok. Aku bisa tau ke arah mana pikiran seorang cowok kalau berdua sama pacarnya.”

Inka mengernyit. “Terus, kita dulu ngapain? Pacaran, kan? Kenapa sekarang Mas larang Hera pacaran?”

“Aku bukannya ngelarang Hera,” ucap Mas Endi pelan.

Inka diam. Napasnya jadi berat hanya karena berdebat dengan Mas Endi.

“Kenapa jadi kita yang berantem?” Mas Endi mendekat kemudian menangkup kedua sisi wajah Inka dengan tangan besarnya.

“Kamu yang ngajak berantem,” jawab Inka ketus, enggan menatap Mas Endi.

“Ya udah, jangan dibahas lagi. Kasian adek,” kata Mas Endi melirik perut Inka.

Inka mengangguk samar.

“Mau tidur sekarang?”

Inka mengangguk lagi.

Mas Endi lalu mengajak Inka berbaring dan menariknya agar tidur di dadanya. Cukup lama mereka saling diam hingga Inka memberanikan diri membuka pembicaraan. Karena merasa Mas Endi sudah cukup tenang.

“Mas.”

“Emm?” sahut Mas Endi sambil mengelus punggung Inka.

“Aku bisa nyuruh Hera ngajak Hery makan di sini, biar Mas bisa kenalan.”

“Namanya Hery?” tanya Mas Endi dengan suara tenang.

“Iya.”

“Menurut kamu, dia gimana?”

Inka tersenyum samar. Sepertinya Mas Endi sudah mulai melunak. “Aku juga baru ketemu sekali, Mas. Itu pun bentar banget. Tapi kalau dilihat-lihat, dia baik kok.”

“Gitu, ya?”

“Kata Hera, dia ketua BEM.” Inka sengaja membeberkan kelebihan pacar Hera. Mungkin ini bisa jadi pertimbangan untuk lebih menerima pacar adiknya.

Inka merasakan Mas Endi menarik napas cukup dalam kemudian mengembuskannya perlahan.

“Mas tenang aja, kalau Hery emang nggak baik. Hera juga tau kok Mas harus bertahan atau pisah.”

Bukan jawaban yang didapatkan, Inka justru merasakan tangan Mas Endi yang mengelus rambutnya. Sepertinya, Mas Endi ingin berhenti membahasnya.

Satu Atap, Satu KampusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang