Pintu kamarnya diketuk tiga kali.
"Beb! Di depan ada Kak Ade!" Akhirnya! Yang ditunggu-tunggu datang juga.
"Iya!" Inka menyambar jaket di atas tempat tidurnya lalu berjalan ke arah cermin. Kucel. Satu kata itu menggambarkan wajah Inka malam ini dengan sempurna. Inka tidak memakai apa pun di mukanya. Bahkan lipstik pun tidak. Ah, tidak apa. Toh, Inka memang hanya numpang tidur di rumah Tante Maya. Sesampainya nanti, ia cuma makan, santai-santai kemudian tidur.
Inka keluar dari kamarnya dan langsung disuguhkan pemandangan yang tak biasa. "Loh? Pak Endi?" Tidak biasanya Pak Endi datang malam-malam begini. Seringnya pagi jika jadwal Pak Endi mengajar dan kuliah Hera bersamaan.
Selain sang pemilik nama, Hera dan Wulan pun ikut menoleh menyadari kehadiran Inka.
"Beb, lo mau nginap di rumahnya Tante Maya?"
"Iya." Inka berbalik sebentar, mengunci kamarnya lalu menghampiri kursi ruang tamu. Ia tidak ikut duduk. "Kenapa?"
"Malam ini enggak usah nginap, ya?" bujuk Wulan.
Sebelum berhasil bertanya, Wulan segera melanjutkan, "Pak Endi ngajak kita ke rumahnya."
Inka melarikan matanya pada Pak Endi. Ternyata dosennya itu juga tengah mendongak menatapnya. Inka tersenyum sekilas lalu memutus kontak lebih dulu. "Ngapain?"
"Aku rencana mau barbeque-an sama Mas Endi. Sekalian rayain ulang tahunku yang kemarin," jawab Hera. Wulan mengangguk dengan binar mata penuh harap.
Kalau untuk merayakan ulang tahun Hera, Inka pasti akan ikut. Tapi, masalahnya di depan sana ada Kak Ade yang menunggu. Inka tidak bisa membatalkan janjinya pada Tante Maya begitu saja. Ia juga tidak enak pada Kak Ade yang sudah jauh-jauh datang menjemputnya.
"Hera berharap banget kalian berdua bisa ikut." Pak Endi ikut menimpal. Namun yang aneh, Hera malah menyikut lengan kakaknya.
Wulan bangkit, memeluk Inka. "Ayo, beb. Makan gratis kita."
"Mau, ya, Kak?"
Inka menggeleng pelan. "Maaf, ya. Kasihan Kak Ade udah ada di depan. Lain kali aja aku ikut."
"Ihh beb! Jahat banget," kata Wulan.
Inka mendorong Wulan agar melepasnya dan sedikit menjauh. "Gue juga tetep jahat kalau enggak ikut Kak Ade."
"Ya udah deh, Kak. Tapi janji ya lain kali harus ikut."
"Iya. Kalau gitu aku pergi duluan, ya," Inka menatap Hera dan Wulan bergantian. Keduanya membalas anggukan pelan, tanda tidak rela.
"Pak, saya permisi," pamit Inka tanpa menunggu balasan dari Pak Endi.
***
Kedua matanya masih merekat kuat. Inka belum rela membuka mata dan meninggalkan kasurnya. Tetapi, tetes air yang mengenai wajahnya membuat Inka penasaran. Seingatnya, tidak ada genteng bocor di rumah Tante Maya. Masa iya ini hujan.
Dengan sangat terpaksa, Inka menarik kelopak matanya terbuka. Ternyata memang bukan hujan. Tetapi ulah Kak Ade yang berdiri di samping tempat tidurnya. Tangannya memegang gayung berbentuk hati dengan warna pink mencolok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Atap, Satu Kampus
Romance"Saya manggilnya Pak atau sayang?" Endi menghela napas pelan lalu menjawab, "Emang kamu berani manggil saya sayang di kampus?" Inka mengendikkan bahu tak acuh. "Kenapa nggak?" Endi mendengus, "Di rumah aja kamu nggak pernah manggil sayang." "Jadi, s...