• Tahun ke-21 Raja Pietro, Bulan Tanam, Soles.
_____Beberapa hari perjalanan akhirnya sampai pada puncaknya ketika dinding-dinding besar dari batu terlihat di depan mata. Sebuah kota yang megah dan bukan sekadarnya benteng besar dari batu. Dikelilingi parit yang terlihat dalam dan dijaga ratusan petugas berzirah. Namun, itu semua tidak menghalangi untuk memberi kesan terbuka untuk kota itu. Seakan menyambut pendatang sebagaimana di sebuah kastil, dan bukannya penjara.
Para prajurit dengan bangga memamerkan zirah mereka yang dua hari terakhir belum mereka bersihkan, sengaja untuk memerkan bercak darah dari kaum N'asman yang mereka bantai dalam perang sebelumnya.
Gerbang besar itu pun dibuka. Mereka, para N'asmar atau yang lebih suka menyebut diri mereka sendiri sebagai Elf, bersorak-sorai atas kedatangan pahlawan mereka dengan baju-baju besi tertumpuk di atas gerobak bersama para manusia yang dikekang tangan dan kakinya. Itu adalah harta rampasan yang sangat besar dan mungkin yang terbesar yang pernah didapat oleh para Elf di kota ini.
Selepas parade kemenangan, harta rampasan perang itu akan didistribusikan ke berbagai tempat. Logam-logam dari zirah, perisai, atau pedang akan dilelehkan untuk dijadikan barang baru. Kemudian, diberikan secara gratis ke arena dan militer atau dijual kembali ke masyarakat umum.
Untuk mereka yang dikekang oleh tali dan dua hari terakhir ini belum makan apapun, akhirnya akan diberikan seadanya berupa roti dan air. Sebelum akhirnya dibawa ke pasar untuk dilelang atau dibawa ke arena sebagai petarung penghibur.
Banyak yang akan datang ke pasar untuk sekadar membeli pekerja murah untuk tanah-tanah mereka. Apa yang akan dilakukan para tuan pun bukan lagi menjadi urusan para penjual setelahnya. Karena jika pun budak sang tuan mati, mereka masih memiliki banyak untuk ditawarkan kembali.
Berbeda dengan mereka yang dikirim ke arena. Hanya mereka yang terlihat rupawan dan paling sedikit menerima luka dari perang yang dibawa ke sana, dengan spekulasi, mereka adalah orang-orang yang masih cukup kuat untuk saling bertarung hingga mati.
Tidak bisa dikatakan sepenuhnya, jika hidup sebagai gladiator di tanah asing adalah sesuatu yang lebih baik dari pada membajak tanah dari seorang tuan yang tidak kenal waktu kerja. Hidup mereka selalu di ujung tombak, walaupun kesehariannya tidak selalu dapat dikata buruk.
"Kau di sini. Cepat akrab dan jangan coba cari masalah! Kami tidak ingin melihat kalian mati di sini. Jika mau mati, mati sana di permukaan!" Tegas seorang Elf berzirah lengkap pada seorang manusia.
Dia, laki-laki yang tidak beruntung itu masuk ke dalam sel berisi empat orang dari ras yang berbeda, menghiraukan ucapan sang Elf dan hanya menundukkan kepala sedikit pada teman sekamarnya itu.
Seorang Khii'dar yang cukup tinggi dan berbulu oranye seperti singa gunung beranjak dari tempatnya duduk, menepuk pundak kawan barunya itu, lalu menghadap sang Elf dan berkata dengan seenaknya. "Hei, Kiersh, kemarin kau berjanji akan membawa satu atau dua botol kemari. Di mana itu? Hidung ini belum mencium apapun yang manis sejak pagi."
Elf itu terlihat memicingkan mata atas kelakuan kucing yang berdiri dengan dua kaki itu. "Atas dasar apa kamu ingatkan itu?"
Tanpa berucap, Khii'dar itu menatapnya dengan cara yang membuat Elf itu paham dalam sekilas. Semua yang ada dalam sel pun tertawa, kecuali si manusia yang baru datang. Kemudian, Elf itu pun berdecap dan meninggalkan ruang tahanan.
Suara derit engsel pintu terdengar dari jauh dan sosok Elf itu pun tidak terlihat lagi.
Khii'dar itu pun kembali pada N'asman yang baru saja masuk itu. Tiga temannya, seorang Odar bertubuh besar dan dua orang Elf tersenyum angkuh pada manusia itu. Tidak sepenuhnya menekan, lebih serti salut akan kehadiran si manusia di sel tahanan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Land of Promising
FantasyPernah kah kamu mendengar puisi di kala perang? Ketika darah bersimbah dan prajurit menari-nari atas kemenangannya, lalu menyanyikan himne tentang tanah yang menjanjikan. Yang mati akan dibiarkan termakan oleh gagak dan yang selamat akan dibawa bers...