• Tahun ke-21 Raja Pietro, Bulan Tanam II, Rales. Kota Tridas.
_____Lonceng berdentang mengguncang sadar untuk hadir kembali dalam benak kecil sang jejaka. Dentang itu tak membangunkannya dari lelap, melainkan mengguncang benak untuk semakin fokus.
Dirinya sudah terbangun sesaat sebelum membunyikan lonceng pagi. Rutinitas yang baru ia mulai beberapa minggu terakhir. Semenjak gereja menawarkannya ruang untuk ditempati dan kelas khusus untuk dirinya seorang.
Paginya dimulai lebih awal sejak itu. Sebelum matahari sepenuhnya mengintip dari balik cakrawala, rambutnya sudah basah oleh air sumur. Suara lonceng pun tidak lain dan tidak bukan adalah ulahnya sendiri sehingga dirinya yang setengah mengantuk itu berangsur-angsur membuatnya malas untuk kembali ke kasur.
Dibuka olehnya pintu besar gereja. Sedikit orang datang. Hanya beberapa orang tua yang otot wajahnya mulai kesulitan menarik senyum. Sapaan hangat pun ia sajikan untuk mereka yang rela menyempatkan diri beribadah bersama. Sarapan yang tidak seberapa, tapi lebih dari cukup untuk membayar perjalanan mereka dari rumah. Seiring dengan masuknya orang terakhir di pagi itu, dentang lonceng semakin terdengar jauh. Memudar alunan pagi itu. Pintu gereja pun ditutup dan ibadah pagi pun kembali digelar.
***
"Sudah terbiasa menulis dengan tangan kiri?" Pertanyaan itu mengudara kepada seorang jejaka di atas kursi kayu.
Lembar-lembar kertas berserakan di atas meja, bersama dengan sebuah kitab yang terbuka di halaman akhir. Jejaka berambut hitam berpadu uban yang mulai mendominasi itu pun membuat dirinya nampak sepuluh tahun lebih dari usia seharusnya. Apa lagi dengan dagu yang akhir-akhir ini tidak begitu ia rawat.
Bentang senyum ia tunjukan kepada ogre tua di balik pintu. Menghentikan sejenak kegiatannya pada pagi menjelang siang itu.
"Lumayan. Terima kasih sudah bertanya." Balas Louise.
Jejaka itu kini terlihat bermahkotakan rambut yang samar-samar abu-abu dengan jambang dan janggut tipis menghiasi sebagian wajahnya. Setelannya terlihat berbeda dari yang ia pernah beli bersama Azalia dulu. Itu adalah setelan untuk seorang biarawan.
Obara selaku pastor kota Tridas pun menghampiri meja Louise yang penuh dengan tulisan ulang dari kitab yang ia baca. Tulisannya nampak berantakan di beberapa lembar. Namun, di beberapa lembar lainnya jelas terlihat perkembangan yang signifikan.
"Ada apa?" Tanya Louise balik.
Salah satu lembar, Obara ambil. Dengan bantuan lensa, ia pun membaca tulisan terakhir Louise yang masih terlihat bak coretan anak-anak itu. Masih terbaca sedikit, akan tetapi tidak rapih. Setidaknya tidak serapih tulisan selamat datang di bar pojok kota.
KAMU SEDANG MEMBACA
Land of Promising
FantasyPernah kah kamu mendengar puisi di kala perang? Ketika darah bersimbah dan prajurit menari-nari atas kemenangannya, lalu menyanyikan himne tentang tanah yang menjanjikan. Yang mati akan dibiarkan termakan oleh gagak dan yang selamat akan dibawa bers...