10th: Awal manis, gula

49 8 8
                                    

Tahun ke-21 Raja Pietro, Bulan Tanam, Garles
___

Pagi di hari libur yang sejuk itu, orang-orang akan berbondong-bondong menuju rumah ibadah sebelum matahari sepenuhnya berada di atas kepala. Seruan dari gereja ditandakan dengan dentum bel yang menggema ke penjuru kota, mengisyarakat semua yang ada agar memenuhi kebutuhan mereka untuk mengingat Tuhan.

Baik itu Louise, maupun Azalia. Keduanya sama-sama meyakini satu kebenaran yang sama dan akan senang hati menjawab panggilan tersebut. Namun, di sisi lain panggilan itu pun menjadi kesempatan yang sedikit bagi Louise dan Azalia untuk menyelinap ke pertambangan dan kastil. Mengingat sebagian besar orang di Tridas adalah mereka yang terbilang beriman, walau entah dari tampangnya saja atau memang hatinya pun demikian.

Ada pun untuk para prajurit yang memiliki tugas jaga di masing-masing tempat harus merelakan do'a pagi mereka seraya berdiri bersandarkan tombak. 24 dari mereka berjaga luar-dalam tambang. Memastikan sumber daya berharga itu tetap aman untuk dikelola adipati.

Di antara pepohonan rimbun, tidak jauh dari tambang, Louise dan Azalia memperhatikan tambang yang tetap terjaga ketat itu.

Sebelumnya Azalia mengatakan sesuatu tentang cara mudah menyelinap ke sana dengan sedikit trik yang dia punya. Namun, hingga mereka di sana, Azalia belum juga menjelaskan secara tepat.

"Kamu yakin tentang ini?" Tanya Louise memastikan, pada Azalia yang telah berwujud gagak.

Dirinya yang bertengger di pundak lelaki itu pun sekadar membuka paruhnya sedikit. Maka, suara manusianya pun dapat didengar jelas. "Aku juga tidak tahu. Karena dicoba pun belum."

"Pada dasarnya, kamu ingin aku benar-benar ke sana berselimutkan mantel sihir dan berjalan seperti orang tolol?"

"Kurang lebih. Kecuali untuk bagian terakhir itu, kamu berjalan pun sudah terlihat seperti itu."

Louise terkekeh dengan kerut dahi yang mengencang. "Astaga. Betapa tidak beruntungnya dirimu ini, menyukai manusia tolol seperti aku."

Gagak betina itu pun mematuk pundak Louise dan melanjutkan. "Kamu sudah cukup berani meniriku ya?" Sayapnya dikepakkan, lalu burung berbulu hitam itu pun mendaratkan diri di ranting. "Terserah kamu. Pokoknya, berhasil tidaknya bergantung pada yang bersyair."

"Aku ini lahir di keluarga petani dan hanya sempat belajar sebagai prajurit dalam kurung waktu yang tidak lama. Jadi jangan berharap aku pandai menggunakan sihir."

Di akhir kalimat, Louise terpaku pada dahan yang tiba-tiba tumbuh di dekat kaki si gagak betina. Dahan itu terlihat amat rapuh dan muda, akan tetapi cukup kuat untung menopang daun hijau di ujungnya.

"Demi Tuhan." Ujar Louise takjub. "Jika benar bisa demikian, harusnya tidak perlu banyak buang tenaga untuk mencangkul tanah di ladang gandum."

"Ini sudah cukup banyak aku kerahkan dan ini lah batasanku. Jadi jangan khawatir, pada dasarnya sihir bukan lah sesuatu yang begitu agung sampai dapat melawan kehendak Tuhan."

"Aku tahu. Aku bersyukur karena itu."

"Jadi tidak masalah kan?"

Helaan nafas Louise buang. Sesaat menatap mata gagak betina itu untuk sesaat, baru lah ia berkata seraya membuang muka. "Baik lah."

Azalia pun terbang ke arah wajah Louise menghadap. Seraya melayang di depan lelaki itu, si gagak betina membuka paruhnya untuk berkata dan di saat yang bersamaan itu lah, bulu-bulu hitam bertebaran mengelilingi Louise.

"Terang bak siang,
Kelam bak malam...

Yang nampak akan berjejak
Remang-remang tak tampakan bayang-bayang...

Land of PromisingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang