"Hei. Pernah kah kamu mendengar puisi di kala perang?"
Nostalgia yang menyapa dari jauh hari. Cukup lama hingga membuat pandanganku pudar akan catatan lama yang terpendam dalam benak. Entah yang tersirat kala itu pun persis demikian atau tidak. Yang pasti, gadis itu memang mengatakan sesuatu tentang puisi di kala perang.
"Hah?" Aku membalas dengan datarnya.
Seorang manusia kecil yang besar dikalangan petani. Kerap kali berkeliaran dengan noda tanah di sana-sini. Dari sisa-sisa bekerja atau pun bermain dengan teman-teman sebaya. Aku selalu menjadi salah satu yang paling harus banyak mandi.
Di lain pihak, gadis itu berpakaian alakadarnya anak desa sama sepertiku. Akan tetapi, tidak secuil pun tanah hinggap di permukaan kulitnya. Anak yang tidak hobi bermain, atau mungkin asuhan gereja yang sedang senggang. Itu lah yang terlintas dalam benakku sekali itu.
"Kamu tidak pernah mendengarnya?" Gadis itu kembali bertanya.
Aku yang kala itu tengah menggiring babi ke ladang sisa panen pun terdiam bingung. Suara babi pun melatari panggung dialog kecil kami yang agak aneh. Bersama dengan arus canggung itu, aku arumi atmosfer dan kembali mengambil fokus kepada para babi.
Gadis itu pun nampak tidak senang. "Kenapa kamu abaikan aku?!"
"Ibu bilang, jangan banyak bicara dengan orang yang tidak aku kenal." Balasku seketika.
"Tapi itu kan untuk orang dewasa! Kita kan seumuran."
Bila dilihat dari tingginya saja, nampak jelas perbedaan usia kami sebagai anak-anak yang kemungkinan tidak jauh. Aku sadar, hanya saja mencoba hirau. Gadis itu sedari awal terlihat seperti anak yang banyak omong.
Dengan malasnya aku kembali menghadap gadis itu seraya menghela nafas. "Kamu... Datang-datang tiba-tiba bertanya tentang itu. Sebelum berbicara dengan orang asing, pertama-tama kenalkan dirimu dulu."
Matanya berkedip beberapa kali. Senyum membentang di parasnya, lalu gadis itu menjawab dengan cara paling membuatku malas kala itu.
"Coba tebak! Mungkin kamu jadi yang pertama yang bisa menebak namaku."
"Aku tidak tahu. Anton?"
Tulang keringku sakit seketika, sontak membuatku membungkuk memegangi bagian yang sakit.
"Kamu, dibandingkan yang lain tidak tahu caranya memperlakukan perempuan ya? Tahu yang namanya sekolah atau gereja?" Ujar gadis itu seraya mengetuk-ngetuk ujung sepatunya ke tanah.
"Bukan tahu atau tidaknya..." Aku yang kala itu masih kekanak-kanakan menatap gadis itu garang, berpikir itu akan menakutinya. Jelas, raut gadis itu sama sekali tidak berubah. "Ck-! Lagi pula yang lain itu siapa?"
Gadis itu menunjuk ke arah gerbang desa. "Si kembar laki-perempuan anak tukang jahit di ujung sana!"
"Oh-... Mereka rupanya."
"Kamu kenal mereka?"
"Kalau pak tua tidak menyuruhku mengurus babi-babi ini, mungkin aku sudah ke sana untuk mengajak mereka bermain di ladang..."
Belum juga kalimatku usai, pundakku sudah disambar si gadis tanpa alasan yang jelas. "Sungguh?! Kalian bermain di ladang gandum itu? Kalian main apa?! Apa aku boleh ikut?!" Tiap-tiap kalimat yang gadis itu lontarkan mengguncang aku kecil dalam banyak arti.
Pojok mataku pun menangkap beberapa babi yang hampir keluar dari ladang. Melesat diriku seketika dari cengkraman gadis itu untuk menggiring kembali beberapa babi masuk kembali ke ladang.
Sebagai anak-anak, aku kala itu memang dibebani beberapa tugas oleh orang tuaku. Tapi, wajarnya memang demikian. Jika tidak, begitu besar nanti ladang dan ternak yang dipercayakan ke keluargaku nanti bisa merugi karena keegoisan pribadi. Paksaan dari ayah yang baru kusadari begitu beranjak dewasa. Bocah tolol aku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Land of Promising
FantasyPernah kah kamu mendengar puisi di kala perang? Ketika darah bersimbah dan prajurit menari-nari atas kemenangannya, lalu menyanyikan himne tentang tanah yang menjanjikan. Yang mati akan dibiarkan termakan oleh gagak dan yang selamat akan dibawa bers...