8th: Nyanyikan aku kemarin

107 14 14
                                    

Tahun ke-21 Raja Pietro, Bulan Tanam, Barles
___

Ketika kamu lahir di keluarga kecil yang tidak lebih dari bawahan seorang tuan tanah, sebagian dari apa yang kamu punya adalah milik mereka yang di atas.

Ada kalanya terbesit dalam pikiran akan rengekan ampun kepada yang di atas untuk sekadar membagi sebagian dia punya. Lupa akan tuhan dan menjilati tapak kaki makhluk yang membuang kotorannya ke tanah dan memakan apa yang tumbuh dari tanah tersebut. Setidaknya dia tampak dan dapat disalahkan. Itu pikir si anak kala itu, namun sinar seketika kala melihat si tuan merengek atas tanah yang lepas darinya.

Itu bukan lah sesuatu yang banyak, ketimbang apa yang ia punya. Pula, tanah itu tidak akan banyak memberi pengaruh ke desa yang ia pimpin. Hanya saja, di sana seorang wanita tua tinggal dan tidak seorang pun yang sanggup merawat.

Sedikit yang bisa diberikan, baik itu dari keluarga si anak atau pun tuan tanah itu sendiri. Sesekali, orang-orang akan diajak untuk sekadar minum dan makan di sana. Dengan sajian yang alakadarnya. Sebuah ketenangan yang biasa saja. Namun, ada cinta yang nyata di sana.

Oleh karena itu, kala mendengar rengekan tuan tanah untuk ladang yang tidak seberapa itu, si anak takjub. Sungguh, jika yang dikata orang-orang telah kehilangan akal di zaman ini. Maka dirinya tidak akan percaya.

Mereka masih percaya akan Satu Kebenaran. Yang bercerita dari kitab yang turun di jauh waktu. Tentang kasih sayang kepada Yang Maha Kuasa, lalu diturunkan kepada ibu. Mungkin, karena kepercayaannya itu yang membawa tuan tanah begitu bersih keras kala itu. Hingga saat di mana tanahnya tidak bersisa lagi dan hanya seorang anak yang selamat.

Jika bentuk kasih sayang Tuhan adalah baktinya kepada orang tua. Maka, anak itu telah kehilangan kesempatan.

***

Mentari mengintip dari celah-celah dinding kayu. Selimut yang menghangatkan malam perlahan membuat siapapun yang di dalamnya merasa gerah. Kemudian, dari perasaan yang tidak nyaman itu, mata perlahan menangkap secercah mentari dan samar-samar menampakkan siluet seseorang.

"Pagi..." Sapanya lembut dengan wajah menghadap langsung kepada lelaki yang baru saja sadar dari mimpinya, Louise.

Azalia pun menarik diri, membiarkan Louise duduk di atas kasurnya dengan raut berantakan yang tidak ramah. Dirinya menyilangkan lengan di balik punggung, lalu sedikit mencondongkan badan ke wajah Louise. "Matamu basah. Tidak ingin diusap?"

Sontak, Louise memegang pipinya sendiri. Air mengalir masih tidak begitu jauh dari pojok mata, membuatnya malu akan harga dirinya di hadapan Azalia. Kemudian menutup sebagian wajahnya seraya berbalik bertanya. "Apa yang aku gumamkan?"

"Sesuatu tentang tuan tanah dan ibu. Tapi, aku juga sebenarnya baru bangun. Jadi aku tidak tahu detailnya."

"Bagus kalau begitu." Louise pun beranjak dari kasur seraya mengusap matanya.

Raut yang kontras dengan suasana sejuk pagi itu nampak di balik cermin dari polesan logam. Tidak begitu jelas, tapi dirinya tahu itu di sana. Bukan rupa yang baik untuk ditampakkan begitu saja di hadapan banyak orang.

Azalia mendekat. Kemudian tanpa alasan yang jelas menyundulkan kepalanya ke punggung Louise berulang kali. Kelakuannya yang kekanak-kanakan itu pun agaknya menarik perhatian Louise hingga ke titik di mana matanya yang sebelumnya seperti begitu berat itu mendadak terbuka lebar, hanya untuk melihat pucuk kepala Azalia.

Land of PromisingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang