2nd: Invidious

219 44 81
                                    

Tahun ke-21 Raja Pietro, Bulan Tanam, Rales.
___

"St-! Bangun! Louise!" Suara yang memanggil namanya dan tepukkan yang agak dipaksakan itu menyadarkan Louise dari kantuk.

Kepalanya sedikit sakit dan agaknya linglung karena menenggak anggur semalam. Tidak merespon, dia hanya menoleh ke arah suara itu. Pudar terlihat siluet seseorang. Berangsur-angsur menampakkan wujudnya begitu kesadaran Louise sepenuhnya kembali.

Itu Lakoba si Odar. Karena Louise yang tidak kunjung merespon, ia pun menamparnya cukup keras hingga Louise hampir terpental. "Bangun! Segarkan pikiranmu jika tidak ingin mati." Lanjutnya.

Louise meringis kesakitan, tapi berkat itu pandangannya menjelas. Di ruangan itu, hanya ada dia dan Lakoba seorang. Matahari pun terlihat meninggi, meski udara masih terasa begitu sejuk. Pagi masih muda dan orang-orang pun sudah memulai menguras kulit hingga merembaskan keringat.

Dengan agak terhuyung, Louise mencoba berdiri. Mengusap wajahnya dengan air dari kendi dan menatapi Lakoba dengan datar. "Di mana yang lain?"

"Kau tau hari ini ada apa dan itu yang kau tanya duluan?" Lakoba mengangkat bahunya dan mengetuk-ngetuk sel penjara. "Kedua Elf bodoh itu setiap pagi akan dikirim ke tambang, lalu untuk Radeem..."

Seorang Elf berzirah lengkap pun datang tidak lama setelah Lakoba mengetuk dinding. Lakoba yang melihatnya pun langsung berseru dan menunjuk ke arah Louise. "Dia sudah bangun. Seperti kataku, tidak usah dipikirkan."

Dari balik helm-nya, Elf itu terlihat tidak senang dan membuka pintu penjara dengan cara yang agaknya kasar. "Menyingkir!" Serunya pada Lakoba, lalu berjalan ke arah Louise dan menariknya keluar.

Louise tidak menolak dan hanya mengikuti penjaga itu tanpa melawan. Sebelum keluar Lakoba menepuk pundak Louise cukup keras dan berkata tanpa menghadap ke arahnya. "Jangan mati."

Ucapan yang agaknya sulit untuk ditepati. Karena, tidak ada jaminan untuk seorang mantan prajurit sekalipun akan selamat dari pertarungan tiada henti sebagai gladiator. Paling baik, dia akan kembali dengan satu-dua tulang patah atau diharuskan memohon ampun pada kepala gereja agar dibiarkan hidup. Otoritas seperti itu jarang terjadi dan umumnya hanya dilakukan untuk menambahkan ketegangan penonton.

Pelawak mati. Itulah yang akan dikenang penonton pada mayat gladiator. Tidak lebih dari pion hiburan. Jeritan dan tangis yang dipadu dengan alunan lembut alat musik gesek dan gemuruh genderang.

Mungkin, itulah yang dikata sebagai puisi di medan perang.

Mentari pagi menyilaukan pandangannya. Jeruji besi masih terlihat di depan mata dan gemuruh sorak-sorai orang-orang yang begitu lantang pun terdengar.

Louise sampai di sebuah lorong yang terhubung dengan hamparan tanah kosong yang nampaknya berada di tengah-tengah gedung besar. Belasan senjata berbagai jenis pun tersusun rapih di kanan kiri, besertakan zirah yang terlihat sudah tidak begitu bagus untuk dikenakan. Dan di antara itu semua, seekor kucing yang berjalan dengan dua kaki pun mendekat pada Louise. Menyapanya hangat.

"Pagi. Kau terlihat seperti sudah mati." Bercandaan yang ironis.

Louise pun tertawa dan menarik dirinya dari penjaga itu. "Ya, mungkin jika aku mati sekarang aku tidak perlu mati ditertawakan di sana."

Land of PromisingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang