16th: Gagak yang menatap tajam dalam sangkar

18 2 8
                                    

__________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

__________

Menangis pun tidak ada gunanya lagi. Air matanya sudah surut sejak lama. Harapan kecil tentang laki-laki beruban yang akan datang mengejar dirinya itu hanya sekadar harapan belaka. Tidak lebih dari fantasi kecil dari gadis yang baru akan beranjak ke dunia orang dewasa.

Seharga 30 perak dirinya dibeli. Sedikit atau setidaknya setara harga sebuah gerobak kayu yang cukup kokoh. Untuk manusia yang kelebihannya tidak lebih dari membuat keajaiban kecil. Bila dibandingkan dengan ras lain, harga itu sudah lebih dari cukup.

Dan lagi...

"Kh- Hakh!"

Setibanya mereka di rumah sang Elf. Azalia dijamu dengan amat baik hingga membuatnya lalai untuk sesaat. Kesempatan itu hadir seketika sang Elf mengantar anak manusia itu ke 'kamar budak' yang ia maksud. Tidak lebih dari ruang bawah tanah dengan sejumlah kamar berpintu kayu.

Jujur saja, Azalia tidak masalah jika pun hanya diberikan itu sebagaimananya budak pada umumnya. Tapi, yang ada di sana termasuk dirinya bukan lah sekadarnya budak biasa.

"Bak... Salju... Bak bara." Percikan api kecil muncul diantara cekikkan sang Elf dan Azalia.

Elf itu terkejut mundur. Panik bukan main. Manusia yang dikatakan dapat menggunakan sihir hingga ke tahap itu memang ada benarnya.

"BEDEBAH! Tidak tahu terima kasih!" Rotan tipis ia ambil dari pojok ruangan.

Selagi itu juga, Azalia pun berlari dengan niatan keluar dari bangunan. Ia naiki kembali tangga yang membawanya ke ruang bawah tanah. Namun, apa yang menghadapinya di ujung jalan mencegahnya untuk melangkah lebih jauh.

Seorang ogre wanita bertubuh terbentuk amat keras setinggi lebih dari satu kepala Azalia. Keduanya saling tatap untuk sesaat. Tak sekali pun pernah mereka bertemu, namun dalam konteks ini Azalia yakin sebagai sesama wanita sang Ogre pasti paham maksudnya.

"Kamu tidak ingin melakukan ini."

Ogre itu menggelengkan kepala agak berat. "Pilihan apa yang aku punya?"

Api pun seakan membakar tangan sang gadis manusia. Ragu tak sekali pun Ada kala itu juga. Dirinya menerjang dengan tangan kiri memercikkan api.

"Di kala musim panas..." Azalia yang menerjang dengan sihir api membuat ogre itu menarik diri. Tangannya tak dapat menggapai kepala sang Ogre, akan tetapi dalam sekilas apinya padam dan menimbulkan asap yang amat pekat. "...pembekaran gandum!"

Selagi itu juga, Azalia mengambil kesempatan untuk melarikan diri melewati si ogre. Meski buta sekali pun dengan tempat itu, yang terpenting baginya saat ini juga adalah mencari jalan keluar untuk berubah menjadi gagak sekali lagi dan kabur dalam wujud itu. Sayangnya, ogre bukan lah ras yang secara fisik dapat diremehkan.

Langkah Azalia cepat terbalap dan dalam sekali terkam, gadis manusia itu terkunci di atas lantai tanpa bisa menggerakan tubuhnya secara berarti.

"Diamlah dan jangan melawan! Kumohon..." Pinta ogre itu.

Azalia yang terus menerus mencoba untuk memberontak pun agaknya terkejut dengan nada yang dihaturkan si ogre. Dirinya tahu, itu terdengar seperti simpati yang dipasrahkan. Siapapun dapat menyadarinya dari lirih yang samar itu.

Keduanya pun dikejutkan dengan langkah kaki yang terdengar berat. Lantai kayu seperti begitu ditekan oleh beban yang membuatnya berdenyit. Hingga sosok yang membuat suara itu hadir, keduanya pun kembali memalingkan pandang ke arah lain. Pasrah akan apa yang ada.

Elf muda bertubuh gendut yang membeli Azalia hadir dengan rona penuh amarah. Kerut di wajahnya berlapis di sana-sini. Sebagai tanda rautnya menegang seiring dengan emosinya.

"KENAPA KAMU MENOLAKKU?! AKU SUDAH RELA MENGHABISKAN UANGKU UNTUK DIRIMU! DAN KAMU... MANUSIA..." Mahkota hitam gadis manusia itu pun ditarik paksa dari kepalanya selagi Azalia masih terlumpuhkan. "Masih saja memilih manusia yang membuatmu terjebak sebagai budak!"

Tidak sanggup menggerakan tubuhnya secara berarti. Bersyair untuk menciptakan sihir pun agaknya sulit dalam keadaan itu. Si gadis gagak pun pasrah tanpa berkata apa-apa. Memalingkan pandangan sejauh mungkin dari si Elf.

Rambut Azalia pun dilepasnya dengan kasar. Elf muda itu tampak enggan untuk mengatai Azalia lagi. Terlanjur kesal atau mungkin kecewa akan si budak yang baru saja ia beli.

"Bawa dia kembali ke bawah dan biarkan si kucing yang menjaganya. Aku ingin kulitnya tetap mulus hingga besok. Cam kan itu!" Perintah Elf muda pada si Ogre.

Ada sebagian dari kata-kata Elf itu yang tidak begitu dipahami Azalia. Namun, dirinya tahu pasti itu bukan hal bagus untuknya mengingat perlakuan si Elf sedari tadi.

Sebelum Azalia berakhir dengan leher tercekik kedua tangan si Elf, tuan rumah itu sempat menawarkannya untuk secara sukarela menawarkan tubuhnya. Tentu, Azalia menolak itu dengan lantang. Mengakibatkan perdebetan yang cukup panjang sehingga Azalia berakhir seperti saat ini.

Di ruang bawah tanah, tempat kamar para budak ditempatkan. Budak dari berbagai ras kecuali Khii'tar yang semuanya ditempatkan seorang diri dalam satu kamar. Mereka semua wanita, dengan ras Khii'dar yang bulunya sepenuhnya digunduli. Kehadiran Azalia di sana hanya membuat mereka menatap lurus diam pada si gadis manusia. Menyampaikan pesan bisu yang seakan menyampaikan secara implisit, jika dirinya akan berakhir seperti mereka.

"Ada keributan apa tadi?" Tanya seorang Khii'dar laki-laki pada ogre wanita yang membawa Azalia.

Ogre itu sedikit menggelengkan kepalanya. Seperti bingung untuk menyusun kata-katanya sendiri. "Begitu, seharusnya kamu pun tahu."

Khii'dar itu tertawa kecil sebelum kembali berucap. "Aku tahu. Tempat ini memang sampah."

Suara yang entah kenapa tidak asing di telinga Azalia. Selama sebulan terakhir, dirinya sudah betemu banyak orang termasuk dari ras kucing ini. Akan tetapi, nostalgia yang dirinya rasa bukan dari ketika dirinya ditankap dan dijadikan budak. Sedikit sebelum itu, tepatnya ketika dia mengejar seorang laki-laki yang ditahan sebagai tahanan perang.

"Kalau tempat ini memang sampah. Kenapa kamu tetap berada di sini? Radeem." Ogre itu menyebut nama seorang Khii'dar yang cukup membekas dalam benak Azalia.

Pandangannya pun di arahkan kepada si kucing jantan. Dengan mata kiri yang tampak tertutup dengan luka gores vertikal, Khii'dar bercorak seperti singa gunung itu tidak salah lagi adalah orang yang berada satu sel dengan Louise.

"Kalau pun aku bisa aku pasti sudah minum-minum di kedai."

Seraya menjawab si ogre, Radeem membuka salah satu kamar kosong di sana dan menuntun Azalia untuk masuk.

Gadis gagak itu tak melawan dan pasrah saja memasuki kandang kayu. Mantra tertentu yang diikatkan dengan tangkai gandum pun diletakan di atas pintu kayu oleh si ogre. Mantra yang sama yang digunakan untuk mengekang Azalia kala dirinya masih berkeliling dengan gerobak.

Hanya beralaskan jerami kering. Gadis yang seharusnya menjadi alasan seorang pemuda hingga rela mempertaruhkan diri demi kedamaian tanah yang menjanjikan. Berakhir di bawah lapisan beton berselimutkan kain apa adanya. Bisikan yang mengundang untuk menyesal pun ada. Namun, dirinya berulang kali menolak. Sekali pun air akan terus merembas dari pojok mata. Dirinya yakin, pasti lah dapat bertahan dari semua ini.

"Louise..."

Land of PromisingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang