"Don't change him. Don't change her. Change you."
-Alvi Syahrin-
[Foto di atas adalah visualisasi Marcell]
***
Duduk termenung. Sendiri. Dia mengasingkan dirinya sejenak. Setelah mengatakan, "Maaf, tapi beri waktu buat gue sendiri," satu persatu orang pun mulai meninggalkannya sendiri, sesuai pintanya.
Dia benar-benar sendiri sekarang. Kian waktu berjalan, tahapan-tahapan yang berat itu mulai dijajaki, rasa takut malah datang saat ini, harusnya sejak dulu, sejak dia putus harapan.
Marcell meraih air minum yang tinggal separuh gelas di atas nakas, menandaskannya seolah tetes terakhir adalah tujuannya. Tujuan akhir, ah, Marcell lantas bersedekap, menunduk dan termenung.
Dia... tak cukup menyesali perbuatannya. Marcell ingin menyesal, sangat ingin, namun tak bisa, dia tak bisa. Marcell tak ingin terlambat, dia harus merampungkan urusannya di dunia, khayal atau nyata tapi Marcell selalu melihat malaikat kematian itu di ambang pintu, Marcell mengetahui pijakan apa yang akan dia tapak nanti.
Satu pijakan, pijakan yang menjebak, membawanya jatuh ke dasar, terpisah dengan mereka yang sangat peduli padanya. Hingga di akhir hayatnya, orang-orang itu akan selalu peduli padanya. Di saat seperti ini, ambang kematian, Marcell barulah menganggap dirinya pantas dicintai. Dendam dan amarah selama ini menggelayut padanya, menutupi nurani, menyamarkan hakikatnya sebagai manusia. Bahkan, dia menganggap dirinya adalah iblis, terkutuk.
Tuhan memanglah bijak, Marcell tak pernah mengira akan seperti ini. Permulaan hidupnya yang dia bangun dengan amarah, dinding besar yang menyekat antara dirinya dan akal sehat, mampu dia tembus. Marcell membuat lubang pada dinding itu, dia mengintip sedikit apa yang ada di balik dinding itu melalui lubang. Ah, kematian, setelah melewati dinding itu, dia harus menghadapi kematian.
"Uhuk! Uhuk!" Marcell terbatuk. Selama ini dia piawai sekali menyembunyikan noda darah itu di dalam genggamannya, darah setelah batuk. Marcell akan langsung mengelap noda darah di tangannya apabila ada kesempatan, tanpa orang tahu di bawah kasur Marcell ada beberapa bungkus tisu. Pelayannya pun keheranan untuk apa pria itu minta dibelikan banyak tisu.
Dia, pria yang duduk di kursi rodanya, mengharap akhir yang damai. Sugesti tak pernah henti dia desak masuk dalam benaknya; maut itu tidaklah menakutkan. Dia berharap perbuatan baiknya selama ini, selama belum terlambat, Tuhan akan merentangkan tangan dan menyambut kebaikannya itu. Ada tahap lagi yang harus dia pijak setelah dinding besar dan kematian, Marcell harus mencapai surga!
"Aku... jangan jadikan aku te-terkutuk, Tuhan." Marcell terisak, menekan kuat dahinya menahan tangis. Di bawah salib besar yang terpajang itu, dia menengadah. Mencoba mencari senyum dari Tuhan, mencoba mencari toleransi Tuhan akan dosa-dosanya. Kembali dia terisak.
Pria ini lemah, tak mampu menahan tangis, tak mampu menahan cobaan, tak mampu menahan keburukan. Dia terlalu mengalir, bergulir menjadi arus mengikuti tempat dia menapak. Jika lubang, maka dia akan menjadi genangan. Jika jurang, maka dia akan menjadi air terjun. Pria ini benar-benar lemah.
"Aku pendosa, Tuhan. Tapi aku sudah menyadarinya, Kau tau aku sudah memperbaiki diri," ujarnya, masih dengan tangis namun lebih tersedu. "Ambillah aku, angkatlah aku dari dunia, namun, berilah orang-orang di sekitarku pengganti atas kepergianku."
Kaki Marcell dia paksakan bergerak, Marcell berdiri dengan tubuh lemahnya yang bergetar. Marcell melangkah, mendekati nakas, yang mana ada pajangan salib di depan nakas itu. Tangannya tergerak melepas topi kupluknya, memperlihatkan kepala tanpa rambut itu. Tubuh kurusnya masih bergetar, matanya berair, tumpah ruah menjadi tangis. Menyedihkan, mengapa dia harus berakhir semenyedihkan ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUNG BOSS [Tamat]
Teen FictionGadis cantik nan sederhana ini disukai oleh 2 gangster tampan! Gangster mana yang akan ia pilih? "Ikut gue! Bawa tas gue, jangan ngeluh capek, dan jangan lemot!" Kata-kata itu selalu membuat Syana bergetar takut. ====================================...