59 - LANGKAH YANG LEBIH PASTI

481 21 0
                                    

[Foto di atas adalah visualisasi Marcell]

***

Sakit dan derita, dua hal yang saling melengkapi, saling berkaitan dan saling membangun. Keduanya adalah unsur pembentuk keputus-asaan.

Bersandar di kursi rodanya, Marcell meminta Joni untuk mendorong kursi tersebut mendekati teman-temannya yang sedang berkumpul. Sudah sejak kemarin Marcell menggunakan kursi roda untuk mencegah kemungkinan dia kehilangan keseimbangan seperti waktu itu. Sempat direkomendasikan oleh Tuan Abraham agar putra sulungnya itu menggunakan kruk saja, supaya Marcell tidak mageran. Namun dokter tidak memperkenankannya.

Joni akhirnya berhasil mendorong kursi roda itu menuju sofa tempat berkumpulnya Jean, Syana, Dave dan Morgan. Ruang inap ini dilengkapi dengan sofa yang besar sebagai tempat duduk bagi pembezuk pasien.

"Gue bawa oleh-oleh nih." Joni mendorong kursi roda Marcell lebih dekat dengan mereka. Tepat di samping Jean. "Say hi sama Marcell."

Tawa pun lepas seketika. Wajah Marcell yang ditekuk berhasil membuat Syana memperhatikannya. Tak pernah gadis tersebut mendapati Marcell dengan ekspresi terlampau imut seperti itu.

"Serius amat ngeliatin Marcell," bisik Dave di dekat telinga Syana.

Syana menegang tatkala Dave berbisik. Meski begitu, dia masa bodoh saja. Terdengar Dave terkikik pelan setelahnya.

"Tumben pada ngumpul. Gak kuliah kalian?" Marcell bertanya.

"Aku masih kelas sebelas, Kak," sahut Morgan.

Marcell berdecak. "Iya, lupa Kakak kalo lo masih bocil."

Hubungan yang membaik bukan hanya terjalin antara Marcell dan teman-temannya saja, lebih dari itu Marcell yang semula renggang terhadap saudaranya kini kian membaik. Semangat hidup yang sudah dia pupuk sekarang membuatnya termotivasi untuk memperbaiki hubungannya yang sempat memburuk dengan orang-orang, Marcell setidaknya sadar diri jika dia tak mungkin bisa hidup tanpa orang lain. Bukan berarti Marcell tak sedih terhadap penyakitnya ini, jelas dia terpukul, namun tak ada guna semua sesal dan keluh jika Tuhan sudah mengetuk palu dan melimpahkan nasib  semacam ini kepadanya. Sebisa mungkin Marcell merasa lepas dan santai.

"Cell, apa kabar?" tanya Jean. Memang mengherankan dia sedari tadi tak membuka suara.

Marcell tersenyum hangat, sehangat pandangannya. "Baik. Lo sendiri?"

"Baik juga."

"Gue gak tau sebenernya kenapa lo rela habisin banyak waktu buat nungguin si Kunyuk ini," kata Joni. Kemudian dia tertawa pelan. "Tapi makasih banget, loh. Marcell bahagia kalo lo ada di sisinya."

Marcell mendorong pelan bahu Joni. "Apaan sih lo?"

Sementara itu, Syana diam menunduk. Hatinya kembali berdenyut. Benar-benar bodoh!

"Ngomong-ngomong soal bahagia, gue denger lo bakalan nikah, Jean. Bener?" Dave bertanya.

"Eh, iya. Bahkan sebelum lo lulus kuliah," kata Marcell.

Terlihat Jean seperti kikuk sendiri. Gadis itu merapikan anak rambutnya kemudian menatap semua orang. "Gue dijodohin buat mempermulus kontrak bisnis orang tua gue. Bokap gue baru merintis bisnis di bidang lain, jadi dia butuh pelumas biar relasi bisnisnya lancar."

Semua tertegun. Tak menyangka ternyata ada sesuatu di balik perjodohan itu. Secercah rasa iba pun menyeruak, menyayangkan keputusan orang tua Jean yang menjodohkan anaknya karena ada niat terselubung.

"Seminggu lagi kira-kira tanggal nikahan gue."

Semua orang lebih terkejut lagi.

***

Jean saja sudah mau menikah, masa dirinya yang sudah menyampaikan lamaran malah belum juga ada rencana. Jika mungkin, Dave ingin sekali Hary menjodohkannya dengan Syana, Dave ingin sekali rencananya untuk menikah muda akan segera terlaksana. Mungkin dia akan didamprat kalau memang itu benar terjadi, dan sepertinya sebentar lagi itu terjadi.

"Apa?! Dijodohin sama Syana?"

Ekspresi Dave panik seketika. Dia gelagapan menjelaskan alasannya pada Hary. "Anu, Pa, gini..."

"Tunggu dulu! Papa harus duduk, pulang kerja malah dikasih topik kek ginian," Hary langsung mengambil duduk di sofa. Dave menyusul pria itu duduk di sebelahnya.

"Coba jelasin," kata Hary.

"Jadi gini, sebelum aku tau kalo Syana itu bakal jadi adek perempuanku, jauh sebelum itu sebenernya aku udah suka sama dia."

Hary mengangguk paham. Ketika Dave memperkenalkan Syana pertama kali padanya, Hary sempat menganggap kalau mereka berdua berpacaran. Terlihat dari kedekatan Dave dan Syana, pasti terjadi karena keduanya ada rasa suka.

"Aku udah tertarik sama dia jauh sebelum saat ini," lanjut Dave. "Bahkan aku udah ada rencana bakal nikah muda. Dan kandidat pastinya cuma Syana."

"Iya, Papa paham. Lanjutkan." Semoga Hary masih bisa mengontrol detak jantungnya. Jika Dave ingin menikah muda, maka Hary tak mau mati muda, meski dirinya sudah tidak muda lagi.

"Jujur aja, kenyataan kalo Syana bakal jadi saudari aku itu bener-bener memukul. Sekejap harapanku sirna, aku jadi frustasi. Tapi aku kembali berpikir dan aku sadar, aku dan Syana memang saudara, tapi gak ada yang bisa menghalangi kalau kami bisa nikah."

"Dari mana kamu yakin itu?"

"Ya yakin lah, Pa. Kami gak sedarah, dan itu gak ngelanggar hukum kalo semisal kami mau menikah."

Perlahan Hary mengurut dahinya yang terasa pening. Kini keputusannya sebagai seorang Ayah sangatlah dipertimbangkan.

"Nak, Papa mau tanya sama kamu." Kini Hary menghadapkan badannya ke arah Dave. Pria bertuxedo itu menggapai bahu putranya. "Kamu tau hakikat pernikahan yang sebenarnya?"

Dave mengangguk dengan polosnya. "Pernikahan bukan sekadar mengikat untuk saling memiliki, lebih dari itu pernikahan adalah jalan untuk mencapai berkat Tuhan. Dalam Islam juga gitu, Tuhan umat Islam akan memberi berkat pada mereka yang menikah, karena pernikahan adalah ibadah bagi mereka."

Jujur saja, Hary tercengang mendengar jawaban dari Dave. Sedewasa itu pemikirannya? Rasa ragu sedikit terlepas dari benak Hary. Mungkinkah dia bisa telusuri lebih dalam lagi agar dirinya sepenuhnya yakin kepada putranya ini?

"Ada lagi tujuan kamu menikah selain dari itu?"

"Punya anak, sih." Jawaban Dave kali ini berhasil membuat Hary membelalak. Dave lantas tersenyum melihat ekspresi Hary. "Canda doang. Aku pengen bertanggungjawab atas Syana. Meliputi kebutuhan hidup, kebutuhan jasmani dan rohani, dan juga kebahagiaan."

"Sejauh mana hubungan kalian?"

"Antara calon istri dan calon suami."

"Uhuk!" Hary refleks terbatuk. Dave masih saja sempat bercanda. Semoga saja keputusannya untuk menikahi adiknya sendiri juga bukan bercanda semata. "Dave, Papa serius!"

Dave terkekeh lugu. "Syana gak mau pacaran, Pa. Makanya langsung aku ajak nikah. Lagian kami pedekate udah lama, gak perlu pacaran."

Hary menganggukkan kepalanya paham. "Papa jadi penasaran sama persiapan kamu."

"Aku udah siap pasang badan. Ke pendeta sekarang pun aku gak nolak."

"Dave!"

BERSAMBUNG.


Instagram : auliap2727
Palembang, 2020

YOUNG BOSS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang