"Affan."
Sejenak Syana memandang tangan pria itu yang mengudara sebelum akhirnya balas menjabatnya. Syana tersenyum kecil, berbeda sekali dengan pria di hadapannya itu yang menyengir lebar.
"Syana." Wanita itu melepas jabatan tangannya.
Entah karena apa ada seorang pria mendadak berkenalan padanya. Si lugu Syana kurang paham dalam urusan tafsir-menafsir kode. Ratusan kode keras dari Dave pun bahkan tak mengusik benaknya.
Anggaplah apa yang dilakukan pria bernama Affan ini adalah kode, adalah suatu cara, suatu metode bagi dirinya agar bisa berkenalan dan lebih dekat dengan perempuan bermata biru itu yang terus mengacau pikirannya sejak pertama melihatnya. Entahlah, bahaya apa yang mengintai Affan jika dugaan bahwa dia ingin menggebet Syana terbukti benar.
"Sebentar." Affan tampak gelagapan merogoh sakunya. Setelah mendapat apa yang dia cari, Affan langsung menyodorkan ke perempuan bermata biru itu.
"Hape?" heran Syana. Pria itu memberinya ponsel?
"Eh, bukan bukan." Affan memastikan layar ponselnya hidup sebelum disodorkannya lagi pada perempuan tersebut. "Maksud gue, ketik nomor lo di sini."
Si lugu Syana yang malang. Dia benar-benar akan menyusahkan Affan kedepannya. "Sudah." Syana menjauhkan tangannya dari ponsel Affan.
"Makasih."
Ini terbilang tak biasa, namun bukan berarti tak dapat terjadi. Kaum hawa dengan segala sifat jual mahalnya, tentu takkan dengan mudah berbagi nomor dengan orang lain terutama pria, terutama jika perempuan itu sudah bersuami, terutama jika perempuan itu tak sepolos Syana. Menikah dengan Dave membuat Syana ikut-ikutan gesrek. Perempuan itu jadi menentang kepribadiannya sekarang. Tak ada lagi Syana rapuh, Syana penakut, Syana pemalu. Semua sudah Dave tukar dengan Syana pecicilan, Syana petakilan, Syana pengintip. Namun kegesrekannya tetap mendiami posisi.
Titik dimana Affan dan Syana berdiri saat ini adalah letak paling strategis untuk orang-orang memperhatikan keduanya. Tepat di depan mading, Affan dan Syana berdiri saling berhadapan. Seharusnya, Affan tak harus menggebet istri orang di tempat yang rawan mendapat perhatian orang seperti ini. Beberapa orang biasanya menyengaja menghampiri mading untuk sekadar mencari info baru yang tersedia. Orang yang berlalu-lalang saja pastilah melirik ke arah mading apabila melewatinya. Dewi Fortuna masih mengiba pada Affan dan Syana, area kampus bagian ini lumayan sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang membaca buku.
"Butuh apa lagi?" tanya Syana ramah. Sebenarnya dia tak akan seramah ini dengan orang asing. Berhubung Affan ini sifatnya hangat dan sepertinya supel, untuk apa Syana menyembunyikan keramahannya.
"Anu, ehm, gu-gue boleh kenalan?"
Syana tersenyum. "Namaku Isyana Maura." Dia sudah menyebutkan namanya tadi. Tapi mungkin Affan ingin tahu nama lengkapnya.
"Maksud gue, kenalan sebagai sahabat gitu."
"Sahabat?"
Affan terlonjak. "Teman. Iya... teman." Heran juga dengan dirinya sendiri yang tiba-tiba jadi canggung begini. Mungkin karena dia jodoh gue, pikirnya.
Tentunya ini bukan kali pertama bagi Affan yang dikenal dengan jurus-jurus jitunya menggaet perempuan mencoba mendekati perempuan yang cantik. Apalagi jika targetnya seperti Syana. Darah barat yang diturunkan oleh Hary memang memberikan Syana percikan kebarat-baratan pula. Di kota besar seperti ini memang tidak sedikit dijumpai orang-orang barat yang menetap sekadar belajar, namun gadis barat yang terlihat ramah dan tak keberatan membaur dengan pribumi tentu saja tak mudah dijumpai. Itu terlalu langka untuk ditemukan. Berdasarkan pengalaman Affan, hanya kelab-kelab malam dan cafe millenial yang biasanya ditongkrongi oleh bule-bule yang ada di sini. Gadis bule yang suka ke perpustakaan? Baru Syana yang dia lihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUNG BOSS [Tamat]
Teen FictionGadis cantik nan sederhana ini disukai oleh 2 gangster tampan! Gangster mana yang akan ia pilih? "Ikut gue! Bawa tas gue, jangan ngeluh capek, dan jangan lemot!" Kata-kata itu selalu membuat Syana bergetar takut. ====================================...