7. Jadian terus putus

3.2K 506 190
                                    

"Kamu suka kerja jadi pengasuhnya pak Arthur?" tanya Febi yang baru saja memasuki apartemen Jovanka bersama Resta yang langsung memeluk Jovanka karena rindu. Jangan Resta, kalian yang baca cerita ini saja pasti rindu Jovanka, kan? Hayo ngaku.

"Tante Jo, hari ini Resta dapat nilai bagus loh."

"Oh, ya?" Jovanka belum menjawab pertanyaan Febi, namun lebih mendahulukan bocah sembilan tahun yang sedikit gendut itu. "Resta dapat nilai berapa?"

"Sepuluh." Resta menjawab dengan semangat namun Jovanka segera mengerutkan keningnya. Ada ga beres nih kayaknya.

"Sepuluh, ya? Terus temen kamu yang lain dapat berapa?" tanya Jovanka menyelidik.

Resta diam sebentar karena harus mengingat. "Oh, Zafa dapat nilai sembilan puluh, Tante."

Jovanka menepuk keningnya. Bisa gue sleding aja ga sih keponakan gue? Jovanka pun mengelus rambut Resta dan memandang Febi yang seolah tidak ingin mendengar percakapan mereka. "Kamu belajar?"

Resta menggeleng. "Tapi Mama bilang nilai Resta bagus, kok. Iya, kan Ma?"

Febi menoleh ke arah mereka dan menyengir kecil sambil terus mengupaskan buah. Jovanka mendesah. Inilah kenapa Febi selalu menitipkan Resta padanya, karena Febi memang tidak terlalu bisa memerhatikan keperluan Resta di sekolah. Termasuk pelajarannya.

Jovanka pun meninggalkan Resta yang sudah menyalakan TV dan duduk di sofa dengan anteng. Ia berdiri di samping Febi dan membantu kakak-nya itu menyiapkan buah-buahan. "Mbak jangan urusin pekerjaan terus, dong. Kasian Resta-nya," ucap Jovanka menghela napas.

Lama-lama gue adopsi juga si Resta.

"Ya sori, mbak ga bisa membagi waktu mau ngurus anak atau kerjaan. Kamu tahu sendiri mas Robi itu gimana, kan?" Febi menggeleng kepalanya dengan wajah mulai sebal. Ya, Jovanka cukup tahu bahwa kehidupan pernikahan Febi ga begitu mulus. Robi itu hanya lelaki tidak tahu diri yang hanya numpang tinggal di rumah. Kerjaannya mabuk-mabukan dan kelayapan. Jovanka sampai heran kenapa Febi tidak menceraikan pria kayak Robi itu.

"Kamu belum jawab pertanyaan, mbak. Kamu seneng kerja sama pak Arthur?"

Jovanka menghela napasnya. "Seneng-seneng aja. Lagian anak-anaknya ga ngeselin. Jadi, ga ada yang perlu dirisaukan." Jovanka tersenyum.

"Kalau papa-nya gimana?"

Jovanka menatap Febi dengan bingung. Maksud situ apa nih?

"Maksudnya mbak?"

"Pak Arthur –menurut kamu gimana orangnya?"

Jovanka tahu, maksud Febi itu menggoda-nya. Ya, memang bukan suatu hal baru mengetahui bahwa Arthur itu merupakan duda panas yang sial-nya diusia yang semakin tua malah semakin panas di mata. Jovanka mengakui itu kok.

Panas banget, kompor aja kalah sama panas-nya Arthur.

"Panas."

"Hah? Panas? Maksud kamu?"

Jovanka segera memukul bibir-nya. Karena memikirkan betapa panas-nya tubuh Arthur, ia jadi keceplosan, kan? "Maksud-nya ini su-suana-nya panas."

"Kamu sakit? Ini apartemen kamu dingin, loh." Febi melihat ke sekeliling dengan tatapan kebingungan. Hingga akhirnya ia menyadari sesuatu dan menatap Jovanka dengan penuh kecurigaan. "Kamu sama Arthur saling suka?"

GA USAH DIRAGUKAN LAGI! KEMARIN UDAH DI SUN DI SELURUH WAJAH! MAMPUS GA LO!

"Ga, lah. Apasih mbak pertanyaannya." Jovanka menggeleng dan meninggalkan Febi yang masih memandangnya curiga. Dan Jovanka sendiri hanya mencoba menetralkan degup jantungnya ketika Arthur menjadi topik bahasannya malam ini.

Papa Zafa & Zafi | Chanyeol And Wendy HIATUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang