"Kau mabuk?"
Dari jaraknya Seokjin mampu menghirup aroma alkohol yang menguar dari tubuh Namjoon. Pria di depannya hanya terdiam menatap Seokjin. Ia ingin marah sungguh, namun melihat Namjoon sekacau ini, rasanya ia bisa memendamnya kali ini. "Masuk."
Seokjin dengan telaten mengobati luka diwajah Namjoon. Ia tak mengucapkan apapun dan mengizinkan Namjoon masuk. Caranya berpisah? Yang Seokjin tahu hanyalah cara bertahan dalam kekosongan dan rasa sakit. Ia juga tak tahu bagaimana cara berpisah, semua meninggalkannya, ia menggugat cerai. Semua selesai. Itukah caranya berpisah?
"..Kau marah?"
Seokjin hanya diam menatap Namjoon. "Apa perkataanku kelewatan?"
Seokjin hanya menghela nafas memundurkan badan. "Ada apa dengan wajahmu?"
Seokjin justru berbalik bertanya. "Aku sedang marah. Lalu berkelahi. Itu saja, dan aku marah padamu karena menolakku. Kau terus-terusan menolakku Seokjin-ssi."
"Kau seperti anak kecil. Anak kecil yang terkurung dalam tubuh sebesar ini." Seokjin merapikan peralatan obatnya. "Sudah selesai. Kau bisa pergi sekarang."
"Aku bersungguh-sungguh bertanya padamu tentang pernikahan. Aku akan menikah Seokjin-ssi."
Seokjin menjilat bibirnya lalu membuang pandangan. "Ya tinggal menikah. Tidak ada yang perlu kujelaskan tentang pernikahan. Setiap orang memiliki cerita pernikahan mereka sendiri."
"Menurutmu aku harus menikah?"
Seokjin mengerutkan kening tak mengerti, Namjoon masih bau alkohol, membuat kepalanya sedikit pusing, terlebih dengan pertanyaan Namjoon yang tiba-tiba. "Kenapa kau menanyakan itu padaku? Tanya pada dirimu sendiri."
Namjoon menundukkan kepala. "Aku—tak ingin menikah." Telinganya tak mendengar ucapan balasan dari Seokjin. "Aku—belum ingin menikah." Seokjin tetap bungkam.
"Aku tidak ingin menikah dengan Eunji."
Namjoon mengangkat kepalanya, mata mereka saling bertemu. Ekspresi Seokjin selalu tenang, selalu membuat tanda tanya dalam benak Namjoon. "Lalu kenapa kalian bertunangan?"
Bahkan rasanya Namjoon sama sekali tak berkedip kali ini. Ia terus menatap tepat pada netra Seokjin. "Apa menurutmu kau bisa sesuka hatimu mengikat janji dan pergi begitu saja?" Seokjin tanpa sadar meremas kapas yang sempat ia kuganakan untuk mengobati Namjoon.
"Kenapa begitu banyak orang berpikiran sepertimu Namjoon-ssi?"
Tiga, tiga pertanyaan yang Seokjin lontarkan sama sekali tak membuat bibir Namjoon terbuka untuk mengeluarkan suara. Dirinya total mengunci mulutnya. "Keluarlah. Kumohon." Namjoon tetap tidak bergeming dari tempatnya. "Keluar dari apartemenku Namjoon-ssi." Suara Seokjin terdengar lemah namun penuh akan rasa amarah.
Ia tak menyukai Namjoon. Sangat.
"Aku tak ingin mencampuri urusanmu. Tapi bisakah seseorang menghentikanmu untuk menyakiti orang lain? Karena sepertinya kau bahkan tak menyadari jika kau menyakiti Eunji."
.
Seokjin terbangun dengan kepala sedikit pening, setelah membuka matanya lebar. Ia baru menyadari ia tertidur di ruang tamunya. Dengan kepala menyender pada sofa dan badan yang terduduk di lantai. Semalam setelah Namjoon pergi, ia sama sekali tak beranjak dari tempatnya.
"Lalu kenapa kau menikahiku?"
Kangjoon menunduk, menjilat bibirnya gugup. "M-maaf."
"Hanya itu yang dapat keluar dari mulutmu?"
"M-maafkan aku Seokjin."
"Aku tidak akan pernah memaafkanmu. Tapi aku juga tidak akan pernah menahanmu. Pergilah. Kumohon pergi. Pergi dan jangan muncul di hadapanku lagi." Seokjin menunduk menatap perut besarnya. "Dan jangan akui dirimu sebagai Ayah dari anak yang ku kandung."
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue, still Don't
FanfictionSeokjin merasa ia sudah cukup. Cukup dengan sakit hati Dan rasa malunya. Tapi kenapa dunia selalu mendorongnya menuju labirin biru? mpreg