27

8.9K 990 500
                                    

"Soobiniiiiee."

"Hyungiiie."

Keduanya saling menatap dengan tajam, tangan mereka menggenggam ponsel milik Seokjin dan melakukan tarik menarik. Bagaimana bisa Soobin membiarkan Jeongguk yang sudah sedari tadi memainkan game, karena seharusnya sekarang gilirannya menonton video kesayangannya seperti apa yang Jeongguk janjikan.

"Hyung belum selesai !"

"Ini Bin !"

Mata Soobin semakin menatap tajam pada Jeongguk, bahkan bibirnya mengerucut kesal. Ia tidak akan membiarkan Jeongguk menang seperti biasanya. "Bin mau dooly !"

"Iya nanti habis Hyung !"

"Hyungiiiieeee." Yang terjadi selanjutnya adalah teriakan keras Jeongguk saat Soobin menggigit tangannya, Seokjin segera berlari saat tadi tengah membuatkan susu untuk kedua puteranya. Jeongguk menangis kencang, berjalan sembari mengucek matanya yang basah, sementara Soobin yang sudah menang dengan ponsel justru terdiam memperhatikan.

Raut Soobin terlihat bersalah, bahkan ia yang seharusnya dapat menonton sekarang pun hanya dapat terdiam melihat Appa menggendong Jeongguk dan menenangkan Kakaknya. "Soobin-ah tidak boleh seperti itu lagi ya? Kasian Jeonggukie jadi menang—is."

Detik selanjutnya ketika Seokjin mulai berbicara, Soobin menangis kencang dan membanting ponselnya keatas karpet. Suara Soobin begitu kencang, Seokjin memejamkan mata sejenak menghela nafas lalu mendekat. Meredakan tangis keduanya sekaligus, bukanlah perkara mudah.

Soobin dan Jeongguk berakhir saling bersalaman dan mencium pipi masing-masing. Satu cup besar ice cream menjadi senjata Seokjin agar keduanya berhenti menangis dan bermaafan. Bahkan kini keduanya sudah saling tertawa dengan hidung merah dan pipi yang belepotan.

"Hyungie aaa." Dengan sendok kecilnya Soobin menyuapi Jeongguk rasa vanilla, lalu memasukkan ke dalam mulutnya sendiri sembari mengangguk-anggukan kepala. Seokjin hanya terkekeh dan mendesah lega, butuh setengah jam agar suasana kembali damai.

Seokjin menatap pada jam dinding ruang tamunya, Namjoon mengatakan tidak dapat datang hari ini. Pria itu memiliki pekerjaan yang mengharuskan Namjoon untuk pergi ke distrik lain. Kehadiran Namjoon seperti sebuah kebiasaan, kebiasaan yang melekat dan Seokjin bahkan tak dapat berpikir bagaimana jadinya—jika kebiasaan itu akan hilang. Karena memang ia sama sekali tak mengerti rencana Tuhan.

Ponsel yang sedari tadi ia genggam bergetar, kontak Ibunya terpampang, bibirnya tertarik tersenyum dan segera mendekatkan ponsel pada telinganya. "Ibu?"

"Oh Seokjin-ah, kau tidak pernah menghubungi Ibu. Bagaimana kabarmu nak?" Salah satu suara yang begitu ia rindukan, suara lembut yang dapat menenangkannya, suara manis Ibunya yang akan selalu menjadi favoritnya.

Ia menceritakan tentang keseharian kedua anaknya, Soobin dan Jeongguk juga sudah berbicara sedikit dengan nenek dan kakeknya. Bahkan menawarkan ice cream pada sang nenek dan meminta Seokjin untuk menyusul nenek mereka demi mengantarkan ice cream yang mereka tawarkan.

"Kau tahu, Ibu semakin rindu keduanya." Seokjin terkekeh, menatap pada Jeongguk dan Soobin yang sibuk dengan dunia mereka. "Kau masih belum mendapatkan pengasuh?"

"Ibu, tak perlu sungguh. Aku bisa menjaga keduanya."

"Apa perlu Ibu kesana?"

"Lalu siapa yang membantu Ayah? Ibu sungguh, aku bisa menjaga Jeongguk dan Soobin. Mereka juga terlihat begitu bahagia akhir-akhir ini." Seokjin kembali melirik pada jam dinding dan entah mengapa itu membuatnya tersenyum. "Ibu tak perlu mengkhawatirkan kami."

Blue, still Don'tTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang