16

7.7K 988 440
                                    

Sore itu, Haein masih membiarkan pundaknya basah. Membiarkan Seokjin menangis sesenggukan dibahunya. Ia tidak tahu apa yang terjadi, ia juga tidak mengerti bagaimana perasaan Seokjin. Tapi ia rasa ia hanya perlu memberikan pundaknya pada Seokjin kali ini.

Lalu tak berapa lama kemudian ada seseorang wanita tua yang membuka pintu café dengan paksa dan berdiri diambang pintu menatap Seokjin dengan diam. Haein juga membalas menatap wanita itu. Haein menaikkan alis saat merasakan Seokjin meremas pakaiannya. Seokjin begitu kesakitan.

Wanita tua itu pergi tanpa mengatakan apapun. Dan Seokjin masih berada dalam dekapan Haein menangis, meremat kain lengannya erat dan menyandarkan dahi pada bahu Haein. Pria yang berstatus sebagai atasan Seokjin melirik pada dua kantong keresek yang tergeletak di samping kaki Seokjin.

Butuh beberapa menit hingga akhirnya Seokjin mau masuk ke dalam mobil Haein. Haein tak mengatakan ataupun menanyakan tentang Seokjin. Pria itu hanya terdiam duduk di depan kemudinya. "Kenapa ada begitu banyak orang jahat di dunia ini?" Tiba-tiba Seokjin bersuara dengan suara serak dan lirihnya. Kepalanya menyender pada kaca, air matanya terus mengalir dan tangannya terasa begitu lemas.

"Kenapa mereka tak bisa memandang kesedihan orang lain dan memilih menjadi egois. Apakah itu sifat manusia?"

Haein hanya diam menatap Seokjin.

"Karena sebuah kesalahan, aku bahkan tak bisa mengingat kisah indah bersama Kangjoon."

Kini Haein semakin memfokuskan diri pada Seokjin. Ada nama yang terselip yang Seokjin ucapkan dan Haein tidak memiliki gambaran dengan apa yang Seokjin utarakan sekarang. Seokjin menoleh, menampakkan wajah utuhnya dengan mata yang merah dan pipi yang basah.

Dan entah apa yang ada dalam pikiran Seokjin, namun rasanya saat ini ia sangat butuh telinga untuk mendengarnya, ia butuh ada mengerti dari sudut pandangnya.

"Hyung, bagaimana rasanya sebuah perceraian menurutmu?"

"Kenapa rasanya semua yang berawal dari cinta akan berakhir menjadi kebencian? Mereka adalah orang yang pernah amat sangat kucintai. Kuhormati. Kukagumi. Tapi kini mereka menjadi orang yang paling kubenci, kuhindari dan kuharap kesedihan mereka."

"Apa aku jahat jika berharap mereka sakit di dunia ini?"

Haein merubah posisi duduknya, sedikit menyamping dan menatap penuh pada Seokjin. "Kau tahu Seokjin? Aku mengenal mantan isteriku ketika sekolah menengah dulu. Dan aku terlalu pecundang untuk mengungkapkan cinta. Dua tahun aku memendam rasaku padanya. Hingga kita berpisah tanpa saling mengenal."

"Lalu suatu ketika, aku kembali melihatnya. Dan rasa cintaku kembali tumbuh. Namun saat itu ia memiliki kasih dan aku hanya bisa diam tentu saja. Kembali mencintainya dengan diam. Satu tahun kemudian aku mendengar bahwa dia berpisah dengan kekasihnya."

"Lucunya, aku tak langsung mendekatinya. Setahun setelah dia berpisah aku baru berani mendekatinya. Melewati tahap pendekatan yang kaku, dan akhirnya aku berani mengajaknya kencan."

"Aku tak bisa menggambarkan bagaimana rasa cintaku padanya dulu. Karena itu, sangat, aku sangat mencintainya. Tak pernah memikirkan tentang sebuah perpisahan. Karena saat itu aku yakin, dia adalah yang pertama dan terakhir untukku."

"Dan aku mengajaknya menikah. Hidupku terasa sangat sempurna sampai pada bulan ketiga dia hamil." Seokjin dapat melihat raut Haein yang berubah menjadi begitu cerah ketika mengingat kehamilan mantan isterinya dulu. Dan Seokjin yakin itu adalah moment yang sangat membahagiakan bagi Haein.

"Anakku lahir. Anak pertamaku lahir. Cantik, kecil dan merah. Dia sangat mirip dengan mantan isteriku. Bayangkan, bukankah menjadi diriku sangat membahagiakan?" Sebuah pertanyaan yang tak memerlukan jawaban Seokjin. "Lalu aku kehilangan anakku."

Blue, still Don'tTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang