13| FAMILY TIME

221 29 2
                                    

Jangan lupa Vote, Comment, Follow & Share...
Jejak Readers sangat penting untuk membangun semangat Autor🤗

_________________________________________

Jerit tanpa suara itu lebih menyakitkan daripada menangis tanpa air mata

~Pengagum Rahasia

________________________________________

Subang, 17 September 2018

Sudah menjadi peraturan di keluarga Reyhan. Bahwasanya, setiap jam delapan sampai jam sembilan malam, mereka harus berkumpul di ruang keluarga untuk belajar sekaligus di awasi langsung oleh kedua orang tua Reyhan.

"Rey, kali ini Ayah mau kamu kuliah di Yogyakarta saja. Banyak kerabat kita di sana, nanti kamu bisa tinggal dengan mereka"

Reyhan menatap sang Ayah dengan tatapan datar. Ia merasa jengah dengan obrolan tentang dunia kuliah yang memang tak pernah menemukan titik akhir. Berkat obrolan itu, Reyhan jadi malas untuk melakukan rutinitasnya. Latihan soal UN.

"Kapan sih Bang Rey nggak nurutin Ayah" kali ini Alea (adik kandung Reyhan) mewakili Kakaknya berbicara. Karena kalau tidak, Reyhan akan terus diam di hadapan sang Ayah dan mengabaikan jeritan hatinya yang sebenarnya tidak sejalan dengan apa yang diinginkan sang Ayah. "Bang Rey juga punya keinginan tersendiri buat masa depannya. Kenapa Ayah nggak tanya dulu Bang Rey setuju atau nggak?"

"Ayah selalu tahu yang terbaik buat kalian anak-anak Ayah. Jadi, Ayah meyakini keputusan Ayah yang terbaik buat kalian"

Reyhan memejamkan matanya. Ia terus mencoba menahan dan selalu menahan apa yang sebenarnya ingin dia ucapkan. Lagipula, percuma saja kalau Reyhan menyangkal. Ayahnya pasti selalu tidak setuju.

"Rey, ingat. Ayah tidak mau kamu masuk ke fakultas lain selain di Yogyakarta. Di sana biayanya cukup murah. Dan kamu bisa tinggal di kerabat Ayah"

Reyhan dengan cepat menyimpan pulpen yang sedang di genggamnya. Sekarang, mood belajarnya benar-benar sedang rusak. Ia tak mau lagi mendengar semua itu. Sudah cukup setiap hari Ayahnya membahas Reyhan yang harus mendapat peringkat satu di kelas. Jangan yang lain lagi. Reyhan sudah tidak kuat di tekan seperti ini.

Semuanya menoleh, Ayah bahkan melipat keningnya melihat sikap Reyhan seperti itu. Tidak seperti biasanya.

"Kenapa Rey?"

Nafas Reyhan memburu. Naik turun. Darahnya naik ke atas. Menciptakan wajah merah menahan kesal.

"Tapi Reyhan yang menjalani semuanya Yah" tegas pemuda itu. Begitu terlihat emosional. "Asal Ayah tahu. Reyhan ingin serius dengan apa yang Reyhan pilih. Reyhan tidak mau Ayah memaksa Reyhan untuk kuliah di Yogyakarta. Apa tidak cukup Ayah memaksa Reyhan dengan masuk ke sekolah yang Ayah inginkan itu? Apa masih kurang dengan Reyhan memilih ekskul Paskibra dan meninggalkan hobi Reyhan yang sesungguhnya!"

Tidak bisa di percaya. Baru kali ini Reyhan terlihat seberani itu di depan Ayahnya. Sang Bunda yang baru datang dengan nampan berisi kopi pun memasang wajahnya dengan tatapan tidak bisa di artikan.

Ayah Reyhan mendengus kasar. "Rupanya kamu masih mengharapkan permainan konyol itu?"

"Buat apa kamu terus-terusan bermain bola. Kamu tidak lihat pertandingan di TV! Pertandingan itu hanya akan membawa semua orang pada pertikaian yang sebenarnya tidak ada untungnya bagi mereka"

"Memangnya kamu tidak senang mendapat beasiswa dari sekolah setelah kamu masuk Paskibra"

"Cukup Yah! Reyhan malas membahas ini"

HALU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang