40| ZIARAH

122 22 0
                                    

Jangan lupa Vote, Comment, Follow & Share...
Jejak Readers sangat penting untuk membangun semangat Autor🤗

________________________________________

“Aku tidak mungkin membela diriku sendiri disaat aku bersalah”

Reyhan

________________________________________

Lagi-lagi Ardya harus memanas karena melihat Reyhan menemui Nanda di kelasnya. Tak hanya itu, bahkan Reyhan dengan sengaja juga mengajak Nanda ngobrol di depan kelas. Di hadapan semua siswi yang membenci Nanda.

Ardya mendengus tanpa suara. Kalau saja Pak Palah tidak mengorupsi waktu istirahatnya, sudah dipastikan Ardya lebih dulu yang menjemput Nanda.

Sial! Sial! Sial!

“Ardya, ngapain lo di kelas Bisnis?”

Mata Ardya kontan melotot. Suara itu. Sepertinya ia hafal. Suara yang setiap malam mengganggu jadwal tidurnya karena selalu terbayang. Suara yang membuat Ardya memiliki efek mata Panda tanpa harus pakai filter ponsel. Suara yang menjadi momok paling menyeramkan tentunya bagi hidup Ardya akhir-akhir ini.

Ardya menegakkan tubuh. Berbalik. Wajah itu membuat perutnya seketika mules dengan jantung berdetak lemah dan jari-jari gemetar disertai keringat dingin. Ardya butuh oksigen. Riwayat asma-nya sepertinya akan kambuh.

Phobia Asih. Mungkin itu yang terjadi padanya saat ini. Dan sialnya, ia tidak tahu kalau kelas di sampingnya ini kelasnya Asih. Kalau tahu begini dia tidak akan sembunyi disini tadi.

Mulut Ardya membuka gagap, “A-asih. Gu-gue, ini... Mm... Apa sih namanya? Itu. Anu...” cowok itu terlihat salah tingkah. Bukan karena malu. Tapi tak mampu untuk mencari alasan logis.

“Apa?” desak Asih kasar. “Jangan bilang lo kabur dari hukuman ya. Gue bisa laporin lo ke Pak Aca kalau kabur”

“Enggak-enggak”

“Terus ngapain?”

Ardya menarik nafas. Benar. Asma-nya kambuh.

“Gue...”

“Jangan bilang lo...”

Entah mengapa, Ardya merasa seperti akan ada tangga menimpanya saat ini. Asih membulatkan mata. Mulutnya ikut membuka lebar.

“O my good! Lo stalker?”

Ardya ikutan membuka mulut untuk menolak tuduhan itu, “Gue bukan—”

“Ardya, gue ngerti gimana perasaan lo tapi lo gak mesti merhatiin gue dari jauh atau secara sembunyi kayak gini”

Ardya rasanya ingin sekali menginjak-injak-kan kakinya kasar ke tanah sekarang. Dongkol. Gusar. Sederet kata sebal seolah mencambuk isi batinnya. Memenjarakan segala amarah dan perasaan ingin melempar selusin mangkok kuah seblak pada wajah yang terlalu percaya diri itu.

“Kalau lo mau, lo bisa minta nomor gue tanpa stalking, sini mana hp lo?!”

“Tapi-tapi gue enggak—”

HALU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang