Chapter 2

6.5K 463 17
                                    

Rosé masih menangis, bahkan setelah penyiksaan pedih itu berakhir, dia masih enggan untuk menutup kedua matanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rosé masih menangis, bahkan setelah penyiksaan pedih itu berakhir, dia masih enggan untuk menutup kedua matanya. Ketakutan masih mendominasi dirinya, dan dia tampak masih belum cukup terbiasa mentolerir apa yang baru saja terjadi padanya.

"Sudah bangun?"

Kembali Rosé merasakan sentuhan intim itu dari Jimin, membuatnya semakin kuat mengepal tangannya. Dia terlalu pengecut untuk melawan, semua yang dia miliki sudah habis tak tersisa, dan Jimin lah yang membuatnya tak berdaya seperti ini.

"Hiks.."

"Kenapa, hmm?"

Rosé menggeleng, dia sedang tak ingin memancing kebuasan yang ada pada Jimin. Bahkan rasa sakit di sekujur tubuhnya belum sepenuhnya pulih, dan itu membuatnya semakin tak berani untuk melawan pria ini-pria yang masih memiliki kemungkinan besar melakukan hal serupa demi memuaskan kebutuhannya sendiri.

"Apa masih sakit?"

Tak mendengar respon apapun dari Rosé membuat Jimin menghela, dia sadar akan kebodohannya yang menanyakan suatu hal yang jelas sudah dia ketahui apa jawabannya, "Tak apa, pertama kali memang sakit. Saya akan melakukannya dengan lembut setelah ini, agar kau lebih terbiasa denganku"

Tangis Rosé pecah detik itu juga, Jimin membuat dirinya semakin tak berarti. Pernyataannya membuatnya terhina, dan itu sudah cukup membuat meyakini Rosé untuk terus membenci pria ini disisa hidupnya.

"Lepasin gua, hiks.."

"Tidurlah, kau tampak masih kelelahan"

"Gua mau pulang!! Gua ma-"

Jimin membalik kasar tubuh Rosé, mencengkeram kuat rahang wanita itu hingga sang empu reflek meringis ngilu. "Apa kamu masih belum mengerti juga dengan ucapan saya kemarin, hah? Apa saya harus memperjelasnya lagi agar kau tak meminta apa yang tak akan bisa kau dapatkan dariku?"

"Lo.jahat!"

Jimin menurunkan intensitas tekanan cengkraman tangannya pada rahang Rosé, serta membawa tangannya yang sebelah untuk menyeka airmata yang masih mengalir membasahi pipi gempalnya.

Bisa saja sekarang ia kembali melakukan itu kepada Rosé, memberi Rosé pelajaran sekali lagi untuk mempertegas apa yang sudah dia jelaskan diawal kepadanya. Namun Jimin rasa dia sudah cukup keterlaluan menyakitinya, karena bukan kebencian yang dia inginkan dari wanita itu, Jimin hanya ingin Rosé sadar bahwa ia begitu mencintainya-dengan caranya sendiri.

"Jadilah wanita yang penurut, Rosé"

Sekali lagi, Jimin kecup bibir ranum itu. Sebelum dirinya beranjak pergi dan meninggalkan Rosé yang masih terbaring lemah diranjangnya.

Ini adalah pilihan tepat untuknya meredamkan emosi, dia masih harus membuat Rosé terbiasa dengannya. Walau dia sadar betul, dia begitu tak pantas melakukan hal sejahat itu pada wanita sebaik Rosé.

Sementara disana, Rosé masih bertahan dan tampak tengah mencoba untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Ini sulit, tapi dia tak mau terus mengalah untuk sesuatu yang tak seharusnya dia lakukan.

Rosé mengusap kasar air matanya yang tersisa, sebelum akhirnya dia menyeret pelan tubuhnya menuju tepi ranjang dan secara perlahan menurunkan kedua kakinya menuju dasar-dia harus segera pergi dari sini.

Namun apalah daya dirinya, baru langkah pertama saja dia sudah tak sanggup, bagaimana mungkin dia mampu melanjutkan langkah-langkah berikutnya ketika semua tubuhnya saja tak bisa menoleransi rasa sakit yang dia dapatkan.

•••

"Ohh astaga Jimin, bibirmu kenapa?"

"Hanya luka kecil"

"Sudah diobati?"

"Hmm"

Setelah percakapan ringan yang terjadi, Xana memutuskan untuk duduk dikursinya. Memakan hidangan yang tersaji, dengan Jimin yang terlihat sibuk membenahi sesuatu disana.

"Semalam, kau kemana?"

"Keluar sebentar"

Xana mengangguk, lalu kembali melanjutkan acara makannya. Dia bahkan sudah berhasil menghabiskan seperenam dari spaghetti carbonara miliknya, namun Jimin tampak masih sibuk dengan urusannya.

Bahkan ketika Xana ingin membantu pria itu, Jimin buru-buru menahannya. Tak membiarkan Xana mendekat, sebelum dirinya selesai dan kembali ke tempat yang seharusnya dia berada.

"Untuk siapa?"

"Not your business"

Wanita itu sedikit tertohok, apa maksud dari ucapan Jimin padanya. Apakah Jimin tengah menyembunyikan sesuatu darinya? Tapi apa itu? Xana tak pernah bisa membaca isi kepala pria beku itu.

"Oh, okay. Tapi nanti kau jadi mengantarku ke kantor kan?"

"Tentu, kau tenang saja"

Seperti biasa, Xana tersenyum sumringah ketika tahu Jimin tak pernah menolak ajakannya. Pria itu terlihat manis ketika memperlakukannya dengan baik, dan hal itu  membuatnya semakin jatuh cinta dengan pria ini.

Xana bangkit dari tempatnya, mendekat ke arah Jimin dan duduk tepat dimeja makan pria itu berada. "Bagaimana jika kita melakukannya sekali lagi, bukankah ini masih terlalu pagi untuk berangkat kerja?"

"Habiskan dulu makananmu"

"Oh, Jim. Come on!"

Jimin menghela nafasnya, membuat Xana senang bukan main. Dia tahu Jimin begitu mengistimewakannya dibalik sikapnya yang keras dan tak berperasaan.

Berbeda halnya dengan Rosé, setelah Jimin beranjak pergi dengan alasan ingin bekerja. Dia lagi-lagi tak bisa melakukan banyak hal disini, meskipun kedua tangan dan kakinya tidak diborgol seperti kemarin malam. Namun sakit ditubuhnya masih belum bisa dia atasi.

Terlebih lagi, kini perutnya terasa sakit. Dia tak tahu kenapa Jimin belum juga membawakannya sarapan, padahal pria itu yang bilang sendiri akan membawakannya beberapa makanan sebelum dia berangkat bekerja. Namun, Rosé belum melihat tanda-tanda Jimin akan datang sedari tadi. Apakah pria itu melupakan ucapannya?

"Aduh sakit banget"

Rosé meremas perutnya, penyakit maagnya kambuh dan tak ada yang bisa dia lakukan jika sudah seperti ini. Biasanya dia akan segera makan dan minum obat untuk meredakannya, tapi sekarang kondisinya berbeda, dan dia tak bisa melakukan itu meskipun sebenarnya dia ingin.

Dia merasa menyesal sudah menolak tawaran makan dari rekan kerjanya semalam, andai saja dia menerimanya, mungkin sakitnya tak terasa separah ini.

Jika saja tubuhnya tidak terasa remuk, mungkin sudah sedari tadi dia pergi dari sini. Meninggalkan tempat terkutuk ini, dan hidup selayaknya wanita pada umumnya diluar sana. Walaupun rasanya tak akan mudah untuknya, mengingat apa yang sudah Jimin lakukan kepadanya semalam—tapi bagi Rosé, bebas dari pria itu adalah langkah awal yang memang seharusnya dia lakukan.

•••

STUCK WITH YOU | Jirosé ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang