OLIVIA | 31

114 8 0
                                    

Kenyataan pahit yang terus membuatku tersiksa. Naluri ku selalu berkata bahwa semua sudah takdirnya. Tapi lingkunganku menekankan bahwa semua bukan tanpa sengaja. Lalu aku akan berpihak yang mana?

~~~

"Jangan dengerin omongan dia!" ucap Kevan setelah membawa Olivia jauh dari Gea. Olivia tadi membawa bekalnya saat keluar kelas. Mereka berdua kini berada di halaman belakang sekolah.

Olivia membuka penutup bekalnya, terlihat nasi goreng dengan telur dadar di atasnya. "Mau?" tawarnya pada Kevan.

"Kamu aja!" ujar Kevan mengubah aksen bicara mereka. Olivia terdiam sesaat.

"Bicaranya aku-kamu sekarang. Bolehkan?" Kevan menatap Olivia teduh.

Mana mungkin gue nolak kalau kayak gini natapnya. Udah jadi pacar masih aja deg-degan.

Jawaban Olivia mengangguk yang berarti iya. "Kita makan ini berdua gimana? Aku juga gak bakalan habis makan ini. Kebanyakan soalnya!" keluh Olivia.

Tangan Kevan kini mengacak rambut Olivia gemas. "Oke, suap aku tapi!"

Wajah Olivia yang senyum langsung datar. Tangannya langsung melayangkan getokan pelan di dahi Kevan dengan sendoknya. Kevan meringis.

"Sakit banget ya?" Olivia mengelus-ngelus dahi Kevan. Sepertinya getokannya kelepasan kencang. Kevan meraih tangan Olivia itu menuju dadanya.

"Iya, sakit bukan di dahi tapi di sini!"

Melihat Kevan yang mulai gombal cincai, Olivia menarik tangannya. "Gombal lo!"

"Eh, bukan lo tapi kamu."

Olivia melipatkan tangannya depan dada. "Bodo amat. Terserah lo!"

Kevan tertawa puas. Tapi sesuatu membuatnya menghentikan tawanya dan menatap Olivia meminta penjelasan.

"Kamu sama Gea saudara?" tanya Kevan. Olivia yang tadinya buang muka kini menatap Kevan.

"Iya, kembar tapi gak identik. Tapi masih ada samanya kan?" Olivia menjawab penuh antusias.

"Kok aku baru tahu? Tapi pas aku-"

"Stop! Ngomongnya lo-gue aja kalau selesai cerita baru aku-kamu." ujar Olivia ikutan puyeng mendengar aksen yang Kevan gunakan. Dia sedikit kurang nyaman dan pasti ceritanya akan kurang luwes.

"Waktu gue meluk lo saat itu, bayangan Thalia eh Gea yang gue liat lo dari kejauhan. Tapi pas gue bilang lo mirip Thalia lo gak percaya. Malah marah-marah!" Kevan menjelaskan.

"Gue mana tahu sebutan lo untuk Gea itu Thalia. Jadi gue marah-marah lah orang gak kenal lo langsung main peluk aja di lapangan basket lagi!" ucap Olivia mendumel.

Kevan terkekeh sebentar. "Terus siapa 'Sher' yang lo sebut saat lo nangis di bawah guyuran hujan?" ia mengutipkan nama 'Sher' dengan kedua jari telunjuk dan tengahnya.

Olivia memilih bungkam. Tapi kalau dia tidak menjelaskan pasti Kevan terheran. Ini hal tersulit untuk ia jelaskan, menyebutkan nama Sherin saja sudah membuat tenggorokannya tercekat. Ia mengatur pernapasannya sebentar.

OLIVIA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang