OLIVIA | 15

159 7 0
                                    

Tumben dia gak ada?

~~~

"Hari ini kamu udah bisa pulang. Kata dokter, sore aja pulangnya. Karena masih ada beberapa pemeriksaan." jelas Nia-Bunda Olivia-yang kini mengupas kulit buah apel dan menata daging buahnya di piring.

Olivia tersenyum tipis. "Iya, makasih Bunda!" Nia diam. Tak membalas ataupun menoleh. Olivia paham dengan sikap Bundanya. Daridulu ia sudah terbiasa di beginikan. Bahkan kejadian beberapa tahun silam membuat sikap Nia melebihi dengan hari ini.

"Bunda gak ke butik?" tanya Olivia ragu-ragu. Nia berdecih, lalu menoleh pada Olivia beberapa detik.

"Apa kata teman-teman kamu yang berkunjung kalau gak liat Bunda? Kamu seneng Bunda di cap orang tua yang gila kerja dan lupa anak?"

Tenggorokan Olivia mendadak tercekat. Maksud ia bertanya bukan seperti itu. Cuman ia bertanya begitu hanya bentuk perhatiannya pada Nia, tapi malah di salah artikan. Sebegitu parahnya dampak masa lalu itu untuk Nia. Mereka bahkan tidak menyadari jika Olivia di sini juga korban. Tapi kenapa seolah-olah dunia mendukung bahwa ia lah penyebabnya.

"Gak Bunda. Olivia gak bermaksud gitu tadi-"

Nia tersenyum kecut, "Tadi apa? Berhenti buat ulah aneh Olivia. Gak kasihan kamu sama Kakak kamu? Mentang-mentang dia sayang kamu, jadi kamu seenaknya buat dia kayak gini? Kamu ngerti kan maksud perkataan Bunda?"

Kepalanya ia tundukkan dalan-dalam. Apa benar yah yang Bunda bilang? Apa iya aku nyusahin Kak David doang? Semua salah aku ya?

Olivia kemudian bersuara lirih. "Iya Bunda!" jujur perkataan Nia walau sudah terbiasa tetap saja melukai hati Olivia. Ia ingin menangisi semua ini tapi air matanya sudah kering. Puas sudah dulu ia menangis selama 2 bulan berturut-turut.

"Kalau kamu sayang sama Kakak kamu, berhenti melakukan hal seperti ini lagi. Berhenti buat David menjadi terbebani dan salah mengartikan kebodohan kamu untuk dirinya sendiri!" tutur Nia sedikit geram. Membuat Olivia hanya menunduk mendengarkan.

Nia menarik napas sebentar. "Kamu gak tahu kan luka apa yang David rasakan? Bunda pengen David bebas layaknya remaja pada umunya tanpa memikirkan beban seperti Bunda. Tapi karena kamu semuanya jadi berantakan, OLIVIA!" namanya di tekan dengan intonasi menghunus pada telinganya.

Hati Olivia mencelos keluar. Selalu saja seperti ini, menyimpulkan semua kejadian dan peristiwa pelik bahwa itu karena dia penyebabnya. Tak bisa Olivia pungkiri, memang kejadian itu merubah segalanya. Tapi apakah hanya dia penyebab utamanya?

"Bunda ingatkan sama kamu, David berusaha menjalankan perusahaan Ayah juga karena kamu. Ia mengesampingkan kehidupan remajanya hanya demi membantu Bunda menghidupi kamu dan kebutuhan kamu. Jadi, jangan terus menambah beban pikiran David!"

Olivia meneguk salivanya kasar. "Iya Olivia bakal ngelakuin itu. Maafin Olivia, Bunda!" tuturnya lemah sambil menetralkan suaranya agar tak bergetar karena saat ini tenggorokannya seperti tercekik menahan isak tangisnya.

Dering panggilan masuk akhirnya mengambil alih fokus Nia. Ia kemudian keluar ruangan dan mengangkat teleponnya. Sementara Olivia masih dengan posisi yang sama.

"Astaga, gue kira setan! Lo ngapain nunduk gitu sih? Jatuhnya nyeremin!" ujar David yang tadi terjungkat kaget mendapati kepala Olivia yang menunduk dengan rambut yang jatuh ke depan menambah kesan horor.

OLIVIA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang