OLIVIA | 41

215 7 2
                                    

Selamat tinggal penderitaan.

~~~

Kevan memberontak menahan Olivia, tapi gadis itu keras kepala bahkan tak menghiraukan rintihan Eyang Omanya. David bahkan sudah menahan Olivia tapi gadis itu malah tersenyum, entah apa yang ada di pikirannya saat ini.

Gadis itu di bawa masuk ke salah satu ruang pemeriksaan untuk memeriksa keadaannya sebelum pendonoran di mulai. Saat suster sudah memeriksanya dan memberi waktu ia istirahat selama 1 jam, tiba-tiba tubuh Olivia menggigil menahan ngilu.

"Arrggh!" jeritnya lalu bangkit duduk dari baringnya. Lengan kirinya bagian atas terasa ngilu. Ia membalikkan lengannya sedikit hingga membuat dirinya terkejut.

Di sana ada luka lecet yang sangat lebar akibat terseretnya ia tadi di depan sekolah. Dari atas bagian bahu hingga ke sikunya lecet itu berada. Lukanya memutih pucat dan terkena kain baju Olivia.

Tangannya mencengkeram kuat brangkar yang ia gunakan. Tubuhnya panas dingin menahan ngilu itu. Napasnya tersengal-sengal. Ia lalu membaringkan badannya malah lengannya terkena brangkar. Olivia menggigit bibir bawahnya. Wajahnya memucat, ngilu itu kini menyerangnya bertubi-tubi.

Semakin ia mencengkeram besi brangkar ngilu di belakang lengan kirinya tak kunjung mereda. Tapi ia tidak bisa menyerah, pendonoran akan di lakukan satu jam lagi.

Eyang Oma masuk dan matanya membulat saat melihat Olivia berkeringat mencengkeram sisi brangkar dengan dada yang naik-turun. Wajahnya memucat sambil menggigiti bibir bawahnya. Ia sangat tak kuat.

"Kamu kenapa? Batalkan semua ini masih ada pendonor lain untuk Gea." ucap Eyang Oma kini panik  melihat keadaan Olivia seperti menahan sesuatu. Keringatnya bercucuran deras mengaliri pelipis dan lehernya.

"Arrggh!" jerit Olivia lagi seperti sesorang yang kemasukan arwah. Ngilu itu menyiksanya, dadanya naik turun menahan sakit.

Mata Eyang Oma membulat saat darah kini menetes di bawah brangkar. "OLIVIA!" jeritnya lalu memiringkan badan cucunya itu. Jantungnya berdegup kencang saat melihat luka lecet yang panjang dan lebar itu kini mengeluarkan darah.

"Eyang akan batalkan ini. Keputusan Eyang Oma bulat, hari ini juga kita berangkat ke Yogyakarta!" ujarnya lalu memegang wajah Olivia.

Olivia memejamkan matanya, tubuhnya melemas dan menggigil sekarang. "Gak Eyang. Olivia harus donor ginjal untuk Gea!" bantahnya yang terdengar lirih itu.

"Gak. Eyang akan carikan pendonor lain dalam waktu satu jam ini. Suster!" teriak Eyang Oma melihat Olivia yang kini menutup matanya perlahan. Tenaga Olivia habis karena menahan ngilu yang seperti luka tersiram air garam.

"SUSTER TOLONG CUCU SAYA!" panik Eyang Oma histeris. Suster dan dokter Kendi masuk. Sementara Kevan, Reza, David, dan Nia sedang di ruang rawat inap lantai 2 rumah sakit. Sementara Olivia ada di bangsal pemeriksaan lantai 1.

"Pendarahannya banyak. Bersihkan lukanya suster!" titah Dokter Kendi.

"Dokter saya membatalkan pendonoran ginjal Olivia dan Gea. Tolong anda carikan pendonor lain saya akan membayar berapa pun biayanya. Karena saya tidak mau cucu saya tersiksa lagi, dok!" ujar Eyang Oma menangis sedih.

"Sepertinya permasalahan Ibu dan keluarga sangat berat. Saya akan mencarikan pendonor lain untuk pasien secepatnya!"

Eyang Oma lalu tersenyum. "Saya akan membayar biayanya lebih. Sekarang tolong bantu saya, persiapkan kebutuhan cucu saya untuk penerbangan ke Yogyakarta!"

OLIVIA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang