17 - Nebeng

134 48 125
                                    

Sebelum kembali memasuki kelas, Fanya mengintip dulu lewat jendela untuk melihat apakah ada guru yang sedang mengajar. Sedangkan Revan dan Dio berjalan santai di belakang Fanya. Aldi dan Vito? Tentunya mereka sudah memasuki kelasnya.

"Jamkos nih." Celetuk Dio.

Mereka pun memasuki kelas dengan santainya padahal bel masuk sudah berbunyi 15 menit yang lalu. Anak kelas yang mendengar suara pintu terbuka pun refleks menoleh.

"Huft, gua kira guru!"

"Si Fanya gimana sih, temennya lagi sedih bukannya dihibur malah ngantin!" Bisik Nadia, ketua lambe turah kelas 11.

"Iya ih, jangan-jangan dia fake friend!" Tambah Ara, teman sebangku Nadia.

"Gimana, Nad?"

Mendengar suara Fanya, Nadia pun gelagapan. Ia tidak mengira Fanya bisa mendengar suaranya.

"Eh? Gak papa kok, Fan."

Tak memusingkan omongan Nadia, Fanya pun menuju tempat duduknya. Melihat Yola yang sedang menelungkupkan kepalanya di atas meja, Fanya hanya diam. Ia paling bingung harus melakukan apa ketika ada orang yang menangis karena ia sendiri tidak pernah menangis di depan orang lain sejak lama, bahkan di depan mama dan sahabatnya. Ia selalu sendiri ketika menangis. Kenapa? Entahlah, Fanya tidak suka dibilang cengeng.

♡♡♡

Kring!!! Kring!!!

Bunyi bel membuat semua anak segera bersiap untuk pulang. Aldi dan Vito pun sudah duduk santai di atas meja paling belakang kelas Fanya sambil mengobrol dengan Revan dan Dio.

"Makasih ya, Fan, buat yang tadi." Ucap Yola setelah selesai memasukkan semua barangnya.

"Santai aja. Udah, lo gak usah nangisin cowok gak ada akhlak kayak dia, gak penting!"

"Tapi sepi, Fan, gak ada lagi yang suka gangguin gue."

"Ya udah, besok gue aja yang gangguin!" Sahut Dio.

"Ogah!" Tolak Yola mentah-mentah.

"Gak usah sok nolak deh, lo."

"Iyuh! Udah ah, gue duluan ya, Fan!" Kata Yola mengalihkan pembicaraan.

"Tumben cepet?"

"Iya nih, udah ditunggu kakak gue. Bye, Fan! Bye, kalian!" Tak pakai lama, Yola pun berjalan keluar kelas meninggalkan Fanya bersama 4 teman cowoknya.

"Gak pulang, Fan?" Tanya Aldi ketika melihat Fanya yang malah menyumpal telinganya dengan earphone.

"Nanti." Balas Fanya singkat tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel nya. Ia sedang memilih lagu yang ingin didengarnya.

"Biasa lah, penghuni sekolah."

"Tau aja lo." Fanya membenarkan ledekan Revan.

Sebenarnya, Fanya hanya mengulur waktu agar tidak pulang. Ia lebih memilih untuk bersantai sepulang sekolah daripada balik ke rumah. Kenapa? Karena di rumah ada mamanya. Entahlah, Fanya kurang suka. Mungkin karena terkadang mamanya suka...ya begitulah.

Padahal, biasanya ketika tidak ada orang di rumah, Fanya akan langsung pulang menggunakan motor kesayangan nya. Setelah sampai rumah, ia akan memesan berbagai makanan enak lewat aplikasi. Yah, walaupun terkadang ia juga suka mampir untuk makan, sih.

"Kita duluan ya, Fan!" Kata Dio mewakili ketiga temannya.

"Oke, hati-hati!"

Sekarang tinggal Fanya sendirian di kelas. Ia senang sekali. Sendirian dengan tenang seperti ini memang kesukaannya, tanpa ada orang lain yang menganggu.
Ia pun lanjut mendengarkan musik sambil mengscroll instagram.

Namun, baru 15 menit ketenangannya berlangsung, seseorang mengetuk pintu kelasnya yang sudah terbuka.

"Permisi! Maaf, tadi gue udah bilang sama ketua kelas lo kalo 11 IPS 1 mau dipake buat kumpul ekskul."

"Oh, oke."

Tanpa ba bi bu, Fanya segera keluar kelas dengan berat hati. Ia diusir dari kelasnya sendiri. Akhirnya, Fanya memutuskan untuk pulang. Ia pun membuka aplikasi ojek online nya sembari berjalan menuju gerbang.

"Duh, ga ada voucher, lagi! Masa iya gue pulang doang 15 ribu!"

Sibuk menggerutu sambil melihat ponsel, Fanya tidak sadar bahwa ada motor yang sedang melaju keluar dari tempat parkir.

Tett!

Mendengar bunyi klakson yang sangat dekat, Fanya pun menengok.

"Eh, maaf ya!" Ucap Fanya sambil mengira-ngira itu motor siapa. Sepertinya ia kenal?

"Bareng gak?" Seorang cowok diatas motor besarnya menaikkan kaca helmnya.

"Elo, Al? Belom pulang daritadi?" Tanya Fanya heran karena harusnya Aldi sudah pulang bersama ketiga temannya.

"Tadi ke kantin bentar."

"Oh." Balas Fanya singkat sambil kembali me refresh hp nya untuk yang ke sekian kali.

"Ngapain lo? Nunggu harga turun?" Tanya Aldi tepat sasaran.

"Kok tau?"

"Gue anter aja."

"Gak usah, ngerepotin."

"Enggak kok."

Ya udah lah, daripada gue buang-buang duit, batin Fanya.

"Gratis kan, Al?" Tanya Fanya tanpa basa-basi.

"Gocap, Fan." Aldi mengulurkan tangannya tanda meminta uang.

"Ya udah, gak jadi."

Malas ngomong lagi, Fanya pun kembali berjalan menuju gerbang. Namun, baru Fanya mulai berjalan, Aldi menarik pelan lengannya sehingga ia tertarik kebelakang.

"Bercanda kali! Gratis kok, ayo naik!"

"Helm nya?"

"Gak usah pake helm."

Mendengar jawaban ngawur Aldi, Fanya memutar bola matanya malas. Bagaimana tidak? Jok belakangnya saja sudah terisi helm nganggur yang diikat ke atasnya.

"Belakang lo aja ada helm, terus gue duduk mana? Di atas tangki?" Tanya Fanya sinis sambil melirik tangki motor Aldi yang sangat besar, mungkin bisa diisi dosa-dosanya?

"Haha, lucu banget sih lo."

Sambil tertawa, Aldi turun dari motor untuk melepas ikatan helm lalu menyodorkannya kepada Fanya. Tak pakai lama, Fanya segera memakainya dan langsung menaiki motor. Tak lupa, Fanya memasukkan hp nya kedalam tas.

"Lo ngapain pegang jaket gue?" Tanya Aldi yang menyadari jaket nya sedikit tertarik ke belakang.

"Biar kalo lo ngebut terus gue jatuh, lo nya ikut jatuh."

Dasar cewek aneh, untung gue suka, batin Aldi.

"Oke, kalo mau peluk juga gak papa kok." Aldi tersenyum dibalik helm nya.

"Ogah!"

FALDITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang