Chapter 6

44 8 0
                                    

Satya di bawa Pak Mahesa menjauh dari kerumunan para hadirin. Thalia bersembunyi di balik dinding, mencoba mendengar pembicaraan Satya dengan Pak Mahesa.

"Sudah selesai puisimu?!" Tanya Pak Mahesa tegas.

"Be..belum Pa," jawab Satya jujur.

"Kau ini! Papa tidak mau tau saat acara penutupan mulai kamu harus tampil menakjubkan!" bentak Pak Mahesa membuat Thalia sedikit takut mendengarnya.

"Tapi Pa, Satya bener bener gak bisa.. Satya gak siap Pa," ucap Satya lemah.

"Satya kamu itu anak kebanggaan Papa! Berani kamu permalukan Papa, semua fasilitas terutama peralatan musik kamu Papa sita!" bentak Pak Mahesa sambil menunjuk-nunjuk ke arah Satya.

"Jangan Pa..," ucap Satya memohon.

"Jangan permalukan Papa, Satya," tegas Pak Mahesa lalu meninggalkan Satya yang terdiam.

Satya menunduk, dia bingung harus bagaimana. Satya pasrah.

Tiba-tiba Thalia datang lalu menarik tangan Satya kencang.

"Ngapain lo narik narik tangan gue?"

"Lo mau bawa gue kemana Tha?" Sambung Satya

"Ambil pulpen sama kertas sana," suruh Thalia ketika mereka telah sampai di taman.

"Buat apa?" Bingung Satya

"Ambil aja cepet!" Balas Thalia dengan sedikit meninggikan suaranya.

"Ya sabar napa. Bentar gue ambil dulu."

"Jangan lama lama."

"Iya," ujar Satya sambil berjalan menjauhi Thalia untuk mengambil pulpen dna kertas.

Setelah beberapa saat, Satya pun kembali dengan membawa notebook dan pulpen ditangannya.

"Nih," ucap Satya sambil menyerahkan notebook dan pulpen.

"Sini," ajak Thalia sambil menepuk kursi di sebelahnya.

Satya yang tak mengerti hanya menuruti perintah Thalia.

"Nih lo nulis sekarang," kata Thalia sambil menyerahkan notebook dan pulpen.

"Nulis apaan?" tanya Satya sambil menggaruk belakang kepala yang tak gatal.

"Puisi," jawab Thalia singkat.

"Gue gak bisa," kata Satya sambil menyodorkan notebook dan pulpen ke Thalia.

"Gue bantuin."

"Serius?" Tanya Satya memastikan.

Thalia hanya mengangguk sebagai jawaban.

Wajah Satya berbinar, ada sedikit harapan agar dia tak mengecewakan Papa nya.

"Oke, jadi gimana?" Tanya Satya yang sudah siap dengan notebook dan pulpen nya.

"Yaaa lo nulis lah."

"Hm?" Satya memiringkan kepalanya tak paham.

"Lo bikin dulu puisi nanti gue cek," jelas Thalia.

"Ohh oke bentar," kata Satya lalu berkutik dengan pulpen nya.

Beberapa menit berlalu, akhirnya Satya selesai.

"Nih, Tha," kata Satya sambil menyerahkan notebook nya.

"Udah? Lu cepet juga," puji Thalia.

"Satya gitu loh," kata Satya bangga diri.

Thalia langsung membaca puisi hasil Satya.

Wajahmu sangat indah
Matamu membuatku terpana setiap kali melihatnya
Aku menyukaimu Thalia

MusicopoeticaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang