Chapter 1

98 20 4
                                    

Seharian ini Satya hampir tak melihat perempuan latah itu lagi. Padahal ia sangat penasaran siapa dia dan kenapa dia tak pernah mau berbicara saat mereka bertemu. Apa dia bisu? Atau dia bau mulut? Itulah sekiranya yang ada di pikiran Satya.

Satya ingin mencari akan tetapi dia terdesak oleh hukuman yang tak bisa dia tinggalkan. Kemarin saja dia sampai dihubungi berulang kali oleh Pak Harto, guru olahraga yang memberinya hukuman.

Sebenarnya, hukuman dari Pak Harto cukup mudah. Ia hanya perlu menunggu semua murid pulang. Setelah itu, ia bebas. Tapi, entah mengapa sekarang ia ingin cepat-cepat selesai dari hukuman ini. Apakah itu karena Thalia si cewek bermata empat?

Waktu berlalu, sekolah sudah cukup sepi. Satya pun bergegas pulang. Ia menggunakan jalan pulang yang melewati Lab. Bahasa yang sebelumnya belum pernah ia lewati.

Saat itu, ia melihat pintu lab yang sedikit terbuka. Karena penasaran, ia pun membuka sedikit pintu dengan tidak menimbulkan suara sedikitpun. Dia mendengar ada lantunan puisi yang sangat indah dari seseorang yang ada di dalam lab itu. Karena terlalu menikmati, Satya tak sengaja mendorong pintu hingga pintu itu terbuka sempurna sehingga ia bisa mencium lantai yang dingin itu.

Lantas, orang yang sedang membaca puisi itu pun menghentikan kegiatan membacanya. Ia terkejut saat melihat seseorang dibalik pintu. Sedangkan Satya, dia segera berdiri dan menatap kagum orang itu.

Kek nya gue pernah liat tuh cewek deh, batin Satya berbisik.

Thalia kembali membaca puisinya dengan tingkat kefokusan yang tinggi. Satya merasa diabaik. Dia berbalik hendak pulang tiba-tiba terngiang ucapan Pak Harto, “Jika masih ada siswa di sekolah, kamu siap-siap nilainya bapak turunkan, paham?”

Sambil bergidik ngeri, Satya bergegas masuk ke dalam lab lalu menarik paksa tangan Thalia hingga sang empu terbawa tarikan kuat Satya.

Satya terus menarik tangan Thalia sedangkan gadis itu hanya diam dan terheran. Ia sudah ingin melontarkan emosi yang tertahan di dalam hatinya, 'Siapa sih nih cowok?! Seenaknya aja narik tangan gue?'

“Lo siapa sih?!” Thalia menghempaskan tangannya dari genggaman Satya.

“Main tarik tangan orang sembarangan. Sakit tau!” ujar Thalia sambil mengusap pergelangan tangannya yang sedikit memerah.

“Lo diem aja bisa kan? Gue mau pulang.” kata Satya sambil menyeret Thalia kembali keluar sekolah.

“Ya lo mau pulang, pulang aja. Kaga usah ajak-ajak gue!” bentak Thalia kesal.

“Oh iya ya, kenapa gue ngajak lo?” Untuk sejenak Satya menghentikan langkahnya dan berpikir.

“Ah.. bodoamat. Yang penting, sekarang lo ikut gue dulu,” sambungnya.

Mereka pun melanjutkan langkahnya hingga sampai di parkiran dengan posisi yang sama seperti tadi.

“Lo kenapa sih?! Dendam sama gue?!” kata Thalia yang masih merasa heran dengan tingkah Satya.

“Kagak ada.” kata Satya sambil melepaskan genggamannya.

Thalia menatap Satya dengan tatapan membunuh.

“Santai dong itu matanya. Gue tau gue ganteng tapi nggak perlu gitu juga lo natap gue nya.” oceh Satya dengan percaya dirinya.

Thalia tak menggubris ucapan Satya. Sekarang, dia pasrah saja kemana orang gila itu membawanya. Sesampainya di parkiran, Satya pun melepaskan genggaman tangannya. Eh ralat, bukan genggaman tapi tarikan.

“Lo mau pulang nggak?”
Lagi lagi, Thalia hanya menatap datar Satya.

“Ditanya bukannya jawab. Mau pulang nggak?”

MusicopoeticaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang