Plan datang ke tempat kosnya Blue. Ia datang setelah berpisah dengan Mean dan yang lainnya. Sebenarnya dia tidak ingin mengabaikan telepon dari Blue, tapi mau bagaimana lagi? Ia tidak mungkin mengangkat teleponnya di saat Mean ada di dekatnya, karena itu akan membuat Mean curiga padanya.
"Blue," sapa Plan saat dia melihat Blue berada di tempat tidurnya. Ia berjalan mendekati Blue lalu duduk di dekatnya.
Blue masih terdiam di tempatnya. Ia masih tidak habis pikir, kenapa Plan berbohong padanya.
"Blue, kau kenapa? Apa ada masalah?" Plan bertanya karena dia tidak tahu apa-apa.
Plan memperhatikan mimik Blue yang menahan marah. 'Ada apa dengannya?' batin Plan bertanya.
"Plan," suara Blue setelah beberapa menit terdiam. Ia membuka suaranya.
"Ya," Plan menoleh ke arah Blue.
"Apa kau sudah tidak mencintaiku, lagi?" Blue bertanya karena tidak kuat harus dibohongi terus. Plan pun meremas jarinya. Ia terdiam.
"Plan, kenapa kau diam? Jawablah," Blue bertanya lagi.
"Blue, aku tidak mengerti maksudmu?" Plan bingung dengan pertanyaan Blue.
"Bukankah kau tahu kalau aku, mencintaimu," lanjutnya. Ia memang masih mencintai Blue walaupun tidak sebesar dulu.
"Bohong! Kau sudah tidak mencintaiku lagi. Kau menyukai orang lain, katakanlah, Plan." Kata Blue. Ia masih setia menunggu jawaban dari Plan. Ia berharap Plan mau jujur padanya.
"Blue, maafkan aku! Aku tidak bermaksud untuk membohongimu." Ucap Plan jujur. Ia menyesal.
"Tidak bermaksud? Lalu kenapa kau berbohong padaku, Plan? Siap pria yang menciummu tadi? Aku melihat semuanya!" nada Blue keras karena ia menahan amarahnya. Plan masih saja berbohong padanya.
"Blue, ini tidak seperti yang kau kira. Aku bisa jelaskan," Plan tidak bisa berkata-kata lagi. Ia berusaha menggenggam tangan Blue tapi Blue menepisnya.
"Aku sudah melihat semuanya, Plan. Apalagi yang harus kau jelaskan?" marah Blue.
"Kenapa kau membuatku seperti orang bodoh, Plan? Apa salahku padamu? Aku sangat mencintaimu, tapi kau dengan teganya telah menghianati cintaku. Apa salahku?" Blue menangis. Ia terduduk di lantai. Plan juga ikut menangis.
"Maafkan aku, Blue! Aku juga tidak tahu kenapa semua ini terjadi padaku. Tapi, aku janji, nanti aku akan menceritakan semuanya padamu." Plan ikut duduk dan langsung memeluk Blue. Mereka berdua menangis.
.
.
.
Plan sampai di rumahnya. Kepalanya terasa pusing. Semua ini terasa sangat sulit untuknya. Ia tidak menyangka akan jadi seperti ini. Ia merasa bersalah karena telah menyakiti hati Blue sampai seperti itu. Blue memang pria yang baik. Ia benar-benar merasa sangat bersalah sekarang.
"Arghhh! Apa yang harus ku lakukan, phi? Rasanya ini sangat sulit untukku," Plan menangis di dekat tempat tidurnya. Ia memeluk kakinya sendiri.
"Seharusnya aku tidak datang ke sini. Aku seharusnya di panti asuhan bersama ibu panti dan adik-adik panti. Dengan begitu, aku tidak akan menyakiti hati Blue seperti itu." Plan berbicara sendiri.
"Dasar bodoh! Apa yang harus ku lakukan? Aku tidak ingin menyakiti mereka," bayangan Mean dan Blue terlintas di pikirannya.
"Aku menyukai mereka dan aku tidak ingin kehilangan mereka," gumamnya.
Ketika Plan tengah berjibaku dengan perasaannya, ibunya mengetuk pintu kamarnya.
Tok! Tok! Tok!
"Can," suara ibunya mengetuk pintu kamarnya sambil memanggil namanya.
Hening. Belum ada suara.
Ibunya pun kembali mengetuk pintu dan memanggil putranya itu. Setelah beberapa saat, barulah Plan sadar. Ia segera bangun dan berlari menuju pintu. Tapi sebelum itu, ia merapikan pakaiannya dan juga rambutnya. Tidak lupa juga ia menghapus sisa air matanya.
"Ya mae, tunggu," suara Plan dari dalam. Ia membuka pintu dan memaksakan dirinya tersenyum.
"Can, kau kenapa?" Ibunya bertanya saat melihat wajah lain Plan.
"Aku baik-baik saja mae. Aku hanya mengantuk," bohong Plan.
"Can, apa kau yakin semua baik-baik saja? Apa kau ada masalah dengan Mean?" Ibunya memastikan.
"Hmm, kami baik-baik saja mae." Plan berusaha membuat ibunya percaya. Karena ini bukanlah tentang Mean.
"Baiklah. Apa kau tidak ingin makan malam dulu sebelum tidur? Mae memasak makanan kesukaanmu," ujar ibunya.
"Hmm, baiklah mae. Sedikit lagi aku turun," sebenarnya ia tidak ingin makan. Tapi ia merasa tidak enak menolak ajakan ibunya itu.
.
.
.
Beberapa hari kemudian, Plan dan Blue pergi makan. Hari ini hari bahagia buat Blue. Setelah sekian lama di Bangkok, akhirnya dia mendapat pekerjaan. Karena itulah dia mengajak Plan untuk makan-makan di cafe terdekat. Blue hanya ingin merayakannya bersama Plan.
Semenjak kejadian malam itu, Blue akhirnya memutuskan untuk percaya kepada Plan. Ia tahu Plan tidak akan tega membohonginya lebih jauh lagi. Terlebih lagi, Plan mengatakan kalau ia juga mencintai Blue sama seperti Blue mencintainya. Karena itulah Blue percaya. Dan Plan berkata suatu saat nanti dia akan menceritakan semuanya kepadanya.
"Blue, kau mau ajak aku ke mana?" Plan bertanya. Ia terlihat melihat ke sekeliling.
"Aku punya kabar bahagia buatmu. Aku mendapatkan pekerjaan," Blue tersenyum senang memamerkan deretan gigi putihnya.
"Benarkah?" Plan tidak menyangka kalau Blue akan lebih lama dari ini.
Ia mengira kalau Blue hanya datang sebentar di Bangkok lalu balik lagi ke Chiang Mai setelah bertemu dengannya. Tapi ternyata dia salah. Pria tampan itu malah mencari pekerjaan di Bangkok.
"Hmm," jawab Blue senang.
"Jadi aku bisa melihatmu lebih lama lagi di sini," lanjutnya.
Plan memaksakan senyumnya. Senang dan takut. Plan senang karena dia bisa bertemu dengan Blue. Tapi dia juga takut kalau suatu saat nanti Blue akan tahu tentangnya dan Mean. Bagaimana ini?
Ketika mereka sedang asyik memakan makanan pesanan mereka, pundak Plan di tepuk. Plan kaget begitu juga dengan Blue. Pasalnya, mereka sedang menikmati makan siang mereka.
"Can," panggilnya dengan suara beratnya.
Plan menoleh, begitu juga dengan Blue. Mereka berdua terkejut melihat siapa si pemilik suara, sedangkan orang itu hanya tersenyum ramah menatap Plan.
Deg!
Jantung Plan seakan terhenti.
'Dia, 'kan,' batinnya Blue.
Tbc
Publish;20-04-2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins ✔ [Completed]
Teen FictionKisah tentang dua saudara kembar yang sudah terpisah dari kecil dan dipertemukan kembali ketika mereka sudah dewasa. Takdir memang tidak bisa ditebak. Dan takdir itulah yang mempertemukan Mean, Plan dan Can. #PlanRathavit #CanRathavit #MeanPhiravich