7. Capek

474 88 3
                                    

Caca

Gue membukan pintu rumah papa dengan kasar, membuat suara yang cukup keras sampai papa dan mama tiri gue itu keluar.

"Aku mau perjodohan sama Denan dibatalakan!"

Sebelum papa bicara pun gue tau apa yang bakal di katakan, dia pasti menolak.

"Papa juga tau kalo dari awal kamu menolak perjodohan ini, tapi ini semua nggak bisa di batalkan tanpa alasan."

"Denan punya perempuan lain. Denan pacaran sama cewek lain."

"Ini pasti cuma alasan kamu, iya? Karena kamu mau mem--"

Gue tertawa mengejek "Aku nggak yakin papa bakalan ngebela aku. Kan adanya perempuan ini juga karena-- cih." Kata gue sambil menunjuk dia, mama tiri gue.

"Biar papa tanya sama Denan."

"Mana ada sih maling ngaku?"

"Pokoknya nggak bisa. Lagian kalian belum menikah, apa salahnya? Semuanya udah di setujui Ca, mana bisa batal gitu aja?"

"Di setujui apanya pa? Bisnisnya, iya?! Caca emang nggak pernah penting ya. Bisnis lebih penting, iya pa?!"

Mama tiri gue hendak mengelus punggung gue, tapi langsung gue tolak.

"IYA."

Gue nggak bisa menahan air mata gue.

"Kalo gitu aku bukan anak papa lagi mulai sekarang. Mana ada anak yang nggak penting di kehidupan papanya, mana ada pa?!"

Sebelum melanjutkan gue tersenyum "Anda udah nggak berhak mengatur saya lagi. Natasha Raveena, mulai sekarang nggak punya papa!"

Gue langsung pergi tanpa menghiraukan papa yang beberapa kali memanggil nama gue.

Ken memeluk gue, dia laki-laki pertama, bukan bahkan dia orang pertama yang memeluk gue di saat seperti ini.



Setelah di antar Ken gue langsung ke rooftop, mobil gue dia bawa. Gue nggak peduli, besok gue masih hidup atau nggak aja gue nggak tau.

Gue selalu menghindari rooftop, gue takut kalo sampe bunuh diri. Tapi hari ini, gue nggak peduli. Bahkan gue lebih takut buat hidup besok. Lagian, nggak ada yang mengharapkan gue ada. Kalo pun ada, mereka cuma mau memanfaatkan gue.

Gue berjalan sampe di pembatas, gue bener-bener takut buat loncat tapi gue capek.

Nggak tau apa yang gue pikirkan, gue nelpon Ken. Mungkin gue cuma mau dia menyelamatkan gue atau alasan lain? Gue sendiri nggak tau.

"Ken?"

"Iya, Ca kenapa?"

"Maaf ganggu lo. I just want to say, thank you. Thank you for everything."

"Ca, are you okay? Lo dimana sekarang? Ca! Ca, lo--"

Gue mematikan telponnya sepihak. Gue bener-bener bahagia ada seseorang yang di pihak gue, tapi kebahagiaan itu nggak bisa jadi alasan buat gue hidup.

Keputusan gue udah bulat, mana mungkin gue mundur? Buat ambil keputusan ini susah, kenapa nggak gue lanjutkan?

Gue melewati pagar pembatas. Gue berdiri di situ, gue cuma berpegangan erat sama besi pembatas di belakang gue, barangkali gue bakalan berubah pikiran.

Tapi, kayaknya pilihan gue di awal udah pilihan yang paling benar.

Gue menutup mata gue, gue takut. Gue menggigit bibir bawah gue, sialnya kenangan buruk terus berputar di pikiran gue.

"Gue nggak peduli apapun yang terjadi, dalam hitungan ketiga gue bakalan lompat." Kata gue, sendirian.

"Satu..."

Gue menarik napas panjang.

"Dua..."

"Ti--tiga." Gue bener-bener lompat, gue takut, gu--gue nggak bisa membuka mata gue sendiri. Gue bener-bener ketakutan.

Gue menutup lama, rasanya lebih dari lima menit. Gue memberanikan diri membuka mata. Gue masih bernapas, gue masih hidup, gue masih di atas, dan gue nggak jatuh. Aneh. Padahal gue udah bener-bener ingat kalo gue lompat.

Gue memutuskan buat lihat ke bawah, benar, gue nggak jatuh.

Tunggu, sebuah tangan melingkar di perut gue.

"Ca... Lo nggak bisa pergi kayak gini, lo terlalu baik buat pergi dengan cara yang buruk." Gue menangis sejadi-jadinya saat dengar kalimat itu.

Tangan tadi menuntun gue ke tempat yang lebih aman.

Tangan tadi memegang pipi gue.

Dia... Ken. Ken, ada disini.

"Lo nggak boleh ngelakuin itu Ca. Seberapa hancurnya gue kalo lo pergi Ca?" Katanya lalu memeluk gue.

"Lo berhak bahagia, Ca. Kalo satu kebahagiaan hilang, lo harus yakin bakalan ada seribu kebahagiaan yang datang. Lo harus percaya itu!"

"Gue nggak percaya!"

"Lo harus percaya, Ca. Karena gue yang bakalan ngasih seribu kebahagiaan itu buat lo, janji. Lo harus percaya sama gue." Katanya sambil memegang pipi gue.

"Lo nggak boleh ngelakuin hal kayak tadi, Ca! Kalo gitu, artinya lo biarin mereka semua menang. Lo biarin semua orang yang merebut kebahagiaan lo menang, apa lo mau?" Gue menggeleng.

"Lo harus balas dendam sama mereka!"

"Gimana? Gimana caranya?"

"Cuma satu, dengan lo bahagia." Katanya lalu memeluk gue erat, bener-bener erat.

"Kalo pun di dunia ini nggak ada yang mencintai lo, gue akan jadi pengecualiannya." Bisik Ken di telinga gue, bikin gue jadi keong aja 'hah?'.





Lonely Girl | Wendy × JaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang