Chapter 1

9.1K 596 184
                                    

Selama ini Hinata belum pernah memikirkan sesuatu hingga benar-benar menyita fokusnya dalam bekerja. Karena hal ini pula dia terlambat menyiapkan jurnal penyesuaian. Pasalnya, sang ayah mengeluarkan sindiran keras. Kapan menantu Ayah datang ke rumah, untuk membahas pernikahan kalian? Pertanyaan itu berhasil membuyarkan konsentrasi serta membuat suasana hatinya turut berubah.

Mau sampai kapan begini terus? Sudah 7 tahun 'kan? Tidak takut kalau nanti menantu Ibu kabur? Mencari yang lebih muda darimu mungkin, lebih cantik atau lebih seksi? Dia dikelilingi model-model terkenal. Ibu bukannya mau memanas-manasi kamu, loh. Apa saja bisa terjadi ...." Hinata meremas kuat kertas yang berserakan di meja kerjanya. Perkataan ayah dan ibu kemarin membuat dirinya geram. Kenapa bisa kedua orang tuanya tersebut begitu kompak memojokkan dia.

"Hinata, masih melamun? Jangan lupa! Bos Kakashi sudah meminta neraca penyesuaian untuk besok. Kapan neracanya akan siap jika kau sendiri tidak menuntaskan jurnal penyesuaian?" Selaku senior dia wajib menegur dan suara wanita bernama Ino itu menyentak lamunan Hinata. Entah berapa menit dia mengabaikan tugas-tugasnya. Begitu melirik ke dinding, jam menunjukan lewat pukul dua belas siang. Napasnya terbuang ringan, meraih ponsel dan membaca pesan whatsapp yang baru saja masuk.

Sayang, sepertinya aku pulang terlambat. Ada sedikit masalah di lokasi hari ini. Aku tidak bisa pulang sebelum pemotretan Shizuka selesai. Tidak perlu menungguku dan jangan sampai tertidur di sofa lagi, mengerti?

Pesan lumayan panjang itu menyebabkan kepala Hinata bertambah pening. Shizuka, dia cukup mengenal wanita ini. Salah satu model langganan di pemotretan Naru. Berwajah oriental, namun warna bola mata dan bentuk tubuhnya yang tinggi semampai cukup menguatkan darah persilangan yang dia dapat dari kedua orang tuanya. Naru bahkan mengakui, jika Shizuka merupakan model tercantik di agensi mereka.

Bagaimana jika selama ini mereka terlibat affair? Dan bagaimana pula andai kebungkaman Naru soal pernikahan mereka disebabkan oleh Shizuka? Sialan. Hinata merutuki pikirannya sendiri. Sadar terlalu jauh dia menduga keburukan. Tujuh tahun bersama, dia yakin seratus persen telah mengenal prianya itu luar dan dalam. "Ya ampun! Padahal ketemu tiap hari, tetap juga rindu." ucapnya seorang diri.

Diam-diam akalnya menelaah, barangkali perlu  untuk segera membahas soal pernikahan pada sang pacar. Apalagi ketertarikan Hinata muncul semula sejak keduanya duduk di bangku SMP.

Kenaikan jenjang pendidikan tak pula memisahkan jarak di antara mereka. Sampai ke perguruan tinggi pun mereka tetap berada di satu universitas. Faktanya, Hinata sengaja mengikuti ke mana dan di manapun Naru berpijak.

Hinata pernah merasakan seolah seluruh kebahagiaan di dunia ada di dalam genggaman. Masa di mana perasaannya terjawab, cinta pun terbalas. Hubungan itu diresmikan saat keduanya masih berstatus mahasiswa. Dan empat tahun terakhir ini mereka tinggal seatap, hanya berdua. Keluarga dari dua belah pihak merupakan penganut kehidupan bebas. Asal tidak menjerumuskan diri pada kebodohan dengan tetap berpegang pada tujuan yang pasti.

.
.
.

Jam sebelas malam tepat, Naru tiba di apartemennya. Begitu masuk ke dalam, suasana gelap sedikit menimbulkan keheranan di benaknya.  Apa dia tidur?  Dugaan itu melintas, saat malam ini ruangan temaramlah menyambut kepulangannya.

Tingginya rasa penasaran mendorong Naru tergesa-gesa menaiki setiap anak tangga, demi memastikan keberadaan sang pacar. Kelegaan terembus rendah, kala dia menyaksikan Hinata  duduk bersandar di kepala ranjang bersama sebuah laptop di pangkuannya.

"Serius amat sih, sayang. Bos kamu kasih tugas tambahan lagi?" Naru menghampiri Hinata dan mengecup puncak kepalanya. "Sudah makan 'kan?" Usai dia duduk di samping pacarnya, layar laptop tak lepas dari pengamatan. Walau tak ada angka-angka dan kata yang dia pahami di sana.

Sedang bagi Hinata, kehadirannya justru mengalihkan pikiran perempuan itu dari pekerjaannya. Dia mendadak ragu, rencana untuk membicarakan tentang kelanjutan hubungan mereka pula kembali gagal. Ada lelah kentara di wajah Naru, sebentuk alasan yang mencegah niat Hinata membuka suara.

"Cape kamu, ya? Mending mandi dulu, biar aku siapkan air hangatnya. Mau?" tawar Hinata sembari dia melepas kacamata  dan menepikan laptopnya sesaat.

"Enggak, deh! Mataku perih banget ini, mau langsung tidur saja." Tanggapan terbilang, Naru bergeser ke lemari seraya melepas kemejanya, dia mengambil kaus singlet untuk dikenakan. Betapa penat itu menguasai, sampai-sampai ekspresi Hinata pun lolos dari pandangan. Padahal, pacarnya telanjur menaruh harap terhadap niat yang terbersit.

"Kamu jangan begadang. Kalau kira-kira masih lama rampungnya, lebih baik besok pagi diteruskan." Sempat dia membelai lembut pipi Hinata sebelum berbaring dan menarik selimutnya. "Malam, sayang."

Hinata mendesahkan kekecewaannya, melengos ke arah lain. Agaknya saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk dia bisa mengutarakan segalanya. Hela napas sekali lagi mengudara, pengiring tatapannya terhadap sang kekasih. Sudut bibirnya tertarik, menyadari jika sosok pria ini selalu ada di sebelahnya, di dekatnya, di sisinya, tentu kenyataan demikian cukup dapat mengenyahkan kebimbangan yang terkadang menyapa di masa tak tersangka.

Hanyut dalam lamunan sepintas, tanpa Hinata sadari tubuhnya bergerak refleks untuk merapatkan diri. Lantas ciuman singkat turun di dahi Naru, bersusulan jemarinya yang halus menyapu helai rambut pacarnya.

"Hentikan pekerjaanmu." Kata pria itu dengan mata terpejam.

"Si Bos bakal memarahiku kalau laporan ini tidak selesai."

"Aku tahu. Tapi menjajah waktu orang lain bukanlah bagian dari haknya. Dia mendapatkan kesenangan di kantor dari semua karyawan, kemudian di rumah bersama keluarganya. Sementara kamu hanya di saat sekarang. Memeluk pacar kamu di jam tidur begini lebih bermanfaat. Biar aku juga nyenyak." Jelas dia kalah, safir biru menyorot hangat seakan sedang merayu. Dalam sekejap siapa pun yang memandang siap terkena sihirnya, termasuk kini Hinata.

"Baiklah." Jawab Hinata. Alhasil laptop tadi tersingkir ke atas nakas, dibiarkan masih dalam mode siaga. Kemungkinan, tugas itu tetap dia teruskan setelah pacarnya benar-benar terlelap.

"Ini yang paling kusuka darimu, kau tahu apa yang kumau." Senyuman mengembang di bibir Naru kala  lengan Hinata merangkulnya, sejemang pula kelopak matanya kembali mengatup.

"Siapa yang bisa mengalahkan tempatmu di dalam pikiran dan hatiku? Meski yang ada di laptop itu adalah berkas Wali Kota, kau tetap menjadi pemenangnya, iya 'kan?"

"Itu sebabnya kenapa aku memilihmu. Kau paham mana yang utama." Gara-gara pengakuan tersebut, Hinata menyeringai geli. Sempat dia menarik pelan telinga Naru. Meski lelaki itu cuma terdiam dengan mata tertutup, memampangkan wajah riangnya.

Bersambung...

By: Laceena & Cleorain

JEALOUSY ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang