Segaris senyum cantik masih terlukis di bibir Hinata. Berjalan beriringan, Naru mengeratkan genggaman di antara jemari mereka. Keduanya kini meninggalkan gedung bioskop menuju tempat parkiran mobil. Sesekali Hinata menoleh seraya membagi senyumnya kepada sang kekasih. Dibalas senyum pula oleh Naru sembari dia mengusap pelan puncak kepala Hinata. "Aku bukan anak kecil." ucap Hinata dengan rengekan manja.
"Aku tidak bilang begitu." celetuk Naru saat keduanya masuk ke dalam kotak lift untuk turun ke parkiran di basemene.
"Tapi kau mengacak-ngacak rambutku ..."
Naru terkekeh geli. "Apa salahnya?"
"Bukankah itu membuatku terlihat seperti anak kecil?"
"Mungkin juga. Tapi kau terlalu nakal untuk ukuran gadis kecil."
"Tidak... mana ada!" kilah Hinata bersama wajah cemberutnya.
Mengamati wajah kesal Hinata menjadi hiburan bagi Naruto. Dia selalu memperlihatkan ragam tingkahnya kala mereka sedang bersama, seakan dia bisa mengubah sikapnya kapan saja seperti yang dia mau. Diam-diam Naru berjanji pada dirinya sendiri agar lebih sering memperhatikan dan meluangkan waktu untuk Hinata. Lagi pula dia bukanlah tipikal yang suka menuntut, cukup mudah untuk memancing senyuman di wajah Hinata.
"Kita mau ke mana lagi? Ice skatingnya jadi?" tanya Hinata begitu mereka sudah di dalam mobil dan Naru siap melajukan mobilnya. Namun, baru saja dia akan menjawab, getar ponsel di saku celana mencuri fokusnya.
Nama Gaara, salah satu rekan kerjanya muncul di permukaan layar android miliknya. Dengan tenang dia mengambil earphone yang terletak di atas dasbor, menghubungkannya ke ponsel kemudian. Dia sempat jua menduga-duga kemungkinan, sebab merasa tak memiliki urusan apapun menyangkut masalah pekerjaan dengan rekannya ini.
Naru membuang kasar napasnya sebelum menerima panggilan tersebut. "Maaf sayang, aku harus menjawabnya sebentar. Pasti ada hal penting sampai mereka memaksakan diri untuk mengganggu hari liburku!" Hinata tersenyum geli menyaksikan ekspresi malas di muka Naru.
"Tidak apa-apa, angkat saja."
"... kuharap kau punya alasan bagus karena berhasil merusak acara kencanku."
Hitungan detik terdengar gelak tawa dari seberang telepon.
"Aku punya lebih dari sekadar alasan bagus. Aku berani bertaruh kau akan sangat senang dengan kabar ini ... kaulah yang mendapatkan pemotretan emas itu."
"Kau serius? Yang benar?! Kau bilang sudah ada fotografer lain."
"Aku sendiri tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, anak-anak bilang model merepotkan itu terus-menerus menolak fotografer yang ditunjuk untuk bekerjasama dengan dia. Dan ini bagian yang paling aneh. Dia meminta dirimu langsung, atas kehendaknya sendiri. Dia berniat membatalkan pemotretan jika bukan dirimu."
Naru pun terdiam sesaat, mengkaji soal berita sekian di dalam benaknya. Dia adalah fotografer profesional, sangat mencintai pekerjaannya. Maka tanpa ragu dan mengenyampingkan urusan pribadi, ia pun menerima tawaran itu. Rasa penasarannya tempo hari pula akan terjawab pada kesempatan yang tak pernah disangka ini sebelumnya.
Senyum canggung muncul di bibirnya, memperhatikan wajah bingung Hinata, setelah dia menutup sepihak sambungan teleponnya.
"Telepon dari siapa?"
"Sepertinya kita harus menunda untuk bermain ice skating. Tadi itu telepon dari rekanku di agensi. Mereka memintaku datang secepatnya, ada penawaran kontrak kerja baru. Tidak mungkin di tolak, 'kan?" Naru bercerita dengan nada suara nan lembut serta berhati-hati, penyesalan juga terbaca di ronanya.
Seketika suasana di dalam mobil berganti. Hinata nyaris kehilangan minat untuk berbicara. Kalau perlu dia hendak protes saat ini, meski hanya terlintas dalam akalnya. Nyatanya dia tak mampu untuk berbuat senaif itu.
Naru juga tidak bisa memilih. Pantang dilakukan oleh tenaga profesional, mengabaikan tanggung jawab terhadap tuntutan pekerjaan. Semestinya Hinata mendukung kekasihnya secara penuh di situasi apapun.
Hinata akhirnya mendesah pelan. "Mau bagaimana lagi, memang kewajibanmu."
"Maaf ya sayang." Naru membelai pipi Hinata dengan punggung tangannya.
"Tidak apa-apa. Kita bisa pergi di lain hari."
"Kuantar pulang ya?"
Hening sejenak, saat Hinata tampak sedang memikirkan sesuatu. "Ke apartemen Ino saja, ini 'kan masih siang. Aku bosan di rumah."
"Ya sudah, kuantar ke sana sekarang. Nanti bakal langsung kujemput setelah urusanku selesai. Jangan pulang sendirian, tunggu sampai aku datang!"
Berkali-kali Hinata mendesah, demi membuang seluruh rasa kesalnya. Kenapa panggilan kerja harus mendadak datang di saat-saat begini? Dia mengira bisa menikmati senggang yang langka ini dengan bersenang-senang bersama Naru, di mana baik dia maupun Naru cukup sulit meluangkan waktu. Dimulai sejak naiknya kuantitas pekerjaan mereka.
"Kau marah padaku?" tanya Naru ulang, usai dia menyalakan mesin mobil yang sempat terpaksa didiamkan, kini berjalan konstan di atas aspal.
"Tidak, percuma juga aku marah. Panggilan kerjamu yang enggak disangka-sangka."
"Kalau begitu, ehm ..." Naru melipat bibir, hingga kentara memperlihatkan kedua lesung pipinya. "Kau ingin sesuatu untuk membayar kekesalanmu?"
Hinata menggeleng-geleng, tersenyum kecut. "Enggak perlu, aku tidak apa-apa."
"Kau yakin?" Hinata mengangguk singkat. "Kok masih cemberut? Aku jadi tidak enak meninggalkanmu."
"Tidak usah dipikirkan, nanti juga membaik sendiri. Namanya suasana hati dapat berubah kapan saja, tergantung apa yang terjadi. Ada Ino kok, biasanya dia bisa sedikit menghiburku dengan kata-katanya yang selalu seenaknya itu." sekali lagi senyumnya tampil, tidak semasam semula. Dia enggan menyebabkan Naru merasa bersalah lebih lama.
"Tunggu sampai aku menjemputmu."
"Baiklah ... aku tidak akan ke mana-mana sebelum kau datang."
Bersambung...
By;
Laceena & CleorainUntuk Wifey for Him bisa kalian baca di Karyakarsa, linknya ada di wall ya
KAMU SEDANG MEMBACA
JEALOUSY ✓
Fanfiction>Collab with @Cleorain >Cover by @Cleorain Menjalin hubungan sangat lama hingga tujuh tahun. Namun tak juga mengantarkan mereka pada satu hubungan pasti, pernikahan. Apa sebenarnya yang terjadi pada sepasang kekasih yang saling mencintai ini?