Perkara jodoh yang ditemui dan bisa berakhir ke jenjang yang lebih serius atau pernikahan, merupakan sebuah proses yang mesti benar-benar diperhatikan. Sebab semua orang menginginkan itu terjadi hanya sekali seumur hidup. Jika tidak dipikirkan matang-matang pula melalui berbagai pertimbangan, pernikahan boleh jadi kandas di tengah jalan tanpa adanya usaha pencegahan dan perbaikan.
Bilamana ada sejoli siap untuk melangkah ke tahap menikah, artinya mereka yakin satu sama lain. Saling percaya dan saling cinta, itulah kunci yang akan menyatukan mereka selamanya. Diperlukan motivasi dari diri sendiri untuk selalu setia dan perhatian terhadap pasangan. Salah satu kiat demi menjalin hubungan serius dalam ikatan suci.
Pada dasarnya di antara mereka sama sekali belum memikirkan pernikahan buru-buru, meski kenyataan hubungan kuat sudah berlangsung sejak lama. Baik Hinata maupun Naru, sama-sama pekerja keras. Kian konsisten di tahun-tahun terakhir, hingga waktu luang untuk berbicara serius sering terlewatkan. Apalagi Naru ialah tipikal pria perfeksionis. Diam-diam dia menyiapkan rancangan masa depan itu tanpa sepengatahuan kekasihnya.
Mulai dari menabung agar dia bisa membeli apartemen mewah untuk mereka tinggali nanti. Sekarang hal sekian tak lagi hanya sebuah rencana. Ia berhasil mewujudkan sedikit demi sedikit mimpinya. Pria berusia 26 tahun tersebut telah mendapatkan satu unit apartemen mahal di kawasan elit, Omotesando. Dan dia merahasiakan kejutan ini dari Hinata.
Sebagai anak sulung, tentu Hinata sangat ingin merealisasikan keinginan ayah dan ibunya untuk segera menikah. Prasangka negatif tak jarang melintas di benaknya. Apa hubungan mereka akan berakhir jika ternyata Naru tidak berencana menikah? Apalagi si pria hingga sekarang belum juga menyatakan niat untuk menikahi dirinya. Demi Tuhan, dia hanya ingin menikah dengan pria itu. Tak terbayang pula wajah lain yang akan bersanding dengannya di altar, sebentuk pemikiran paling dia kutuk.
Lebih baik sekalian tidak usah menikah jika pada akhirnya mereka tak berujung bersama. Alhasil, Hinata cemberut, tersenyum, cemberut, tersenyum, ekspresi berbeda berulang kali muncul di wajahnya hari ini akibat dua prasangka yang hilir mudik melintas di kepalanya.
💮💮💮💮💮Pagi-pagi sekali, Naru terbangun dengan keheranan yang terpampang di wajahnya gara-gara tak mendapati Hinata di sampingnya. Semestinya perempuan itu memeluk dirinya dalam dalam kondisi masih tidur. Lalu, paras ayu itulah hal pertama yang selalu menyambut hari barunya di setiap pergantian tanggal.
Dengan langkah terhuyung-huyung, Naru berjalan keluar kamar untuk mencari keberadaan Hinata. Dan ketika dia menyaksikan kekasihnya itu terlelap di atas sofa, kontan dia mendesah iba. Sementara, Hinata justru terbiasa mengambil malam panjang demi menunaikan tanggung jawabnya sebagai pekerja yang kompeten dan loyal. Perkara ini pula masuk ke dalam rancangan Naru kelak, bahwa suatu hari nanti masa-masa pelik ini akan dia hapuskan.
Setelah berdiri di depan Hinata, Naru menatap lekat-lekat wajah sang kekasih. Seketika dia tersenyum kala seberkas bayangan indah menghampiri akalnya. Membina keluarga yang harmonis, penuh cinta, dibingkai kesetiaan dan saling percaya. Sungguh mimpi ini tiada jemu untuk dia khayalkan, terutama karena Hinata seoranglah yang bakal terus muncul di dalam pikirannya.
"Hinata ...." seraya mengelus pipi halusnya, Naru memanggil dengan bahasa nan lembut. Refleks pula dia mengecup dahinya. Sentuhan kecil, namun mampu menjemput kesadaran Hinata. Perlahan manik keabu-abuan berpendar di balik kelopak matanya yang sedikit membengkak. "Begadang lagi kamu?"
"Iya ...." suara lirihnya menyahut dan dia menyandarkan punggung ke sofa. "Pas kamu tidur, aku turun ke bawah."
"Aku tahu kamu pasti menolak peringatan aku. Tapi jika tetap begini, aku tidak suka dan tidak akan diam. Aku 'kan sudah bilang, aku sanggup memenuhi segala kebutuhan kamu. Oke, kalau alasan kamu bosan di rumah karena enggak ada pekerjaan. Tapi sayang, tolong banget! Bisa 'kan? Ambil pekerjaan di jam standar kantor, enggak usah terima lembur-lemburan lagi, deh! Cemas aku sama kesehatan kamu. Perempuan dipaksa benar badannya." Selalu begini, emosionalnya terpancing jika menyangkut kebiasaan Hinata yang tidak disiplin terhadap masa tidurnya.
"Hei ... jangan marah begitu, dong! Masih pagi, sayang." Hinata sengaja menarik lengan Naru agar duduk di sebelahnya. Pekerjaan segalanya buat aku." sanggah Hinata.
"Lebih dari diriku?"
"Bukan itu maksudku. Kamu justru lebih tahu cintaku ke kamu segede apa."
"Ya, aku kesal karena kamu tetap juga membantah."
"Kita sepakat, sayang. Aku enggak minta apa-apa selain kamu mengizinkan aku serius untuk pekerjaan, asalkan kamu tetap tahu yang aku kerjakan."
Dia melengos, tiada kalimat apa pun yang terlontar dari mulutnya saat ini. Naru bungkam.
"Kamu marah sama aku?" tanya Hinata sambil dia menarik pelan rahang kekasihnya. Akan tetapi, tetap jua dia membuang muka. Enggan bertatapan dengan perempuan yang menurutnya agak keras kepala ini. Lantas Hinata mengunggut sekali lagi rahangnya dan kali ini dia menahan sejenak. "Aku enggak rela kamu marah." Hinata sempat mengecup singkat pipi Naru, menyebabkan pria itu spontan menoleh.
"Aku bingung harus marah kayak apa ke kamu. Jangan coba-coba curang, paham benar aku kelakuan kamu. Mau merayu 'kan? Biar aku lalai dan enggak membahas masalah ini lagi? Sekarang ... malahan Hinata nekat mencuri ciuman di bibirnya.
"Bukan, sayang. Cuma, aku paling senang menggoda kamu. Bikin gemas, lucu!"
"Kamu pikir aku anak kecil?! Lucu segala."
"Nah, 'kan?! Coba kamu berkaca, deh! Muka kamu pas marah atau ngambek, pasti beda. Menghibur banget tahu!"
"Muka kamu, enggak usah sok imutlah! Memanas-manasi melulu tabiatnya."
"Aduh, sayangku tsundere ternyata." Hinata cekikikan akibat mendadak pipi Naru bersemu merah dan lagi pria itu masih saja berupaya memperlihatkan amarahnya. Kemudian Naru melotot sebal, alisnya pun ikut bertaut. Tak lama berselang, dia malah menggelitik Hinata di pinggangnya.
"Kita lihat saja, kamu bisa tertawa lagi apa enggak setelah aku gelitik begini? Tunggu kamu bilang ampun, baru aku berhenti." Yang terdengar di ruangan itu adalah gelak Hinata melantun keras. Badannya menggeliat, menerima sentuhan yang menggelikan saraf-sarafnya.
"Naru ....!"
"Enggak! Minta ampun dulu, baru aku setop."
"Sudah, ih! Ahahahaha!" Tawa Hinata kian keras terlepas, pelupuk matanya juga berair.
"Belum ada kata ampun, Nona! Silakan menikmati pembalasan Anda." Seringai Naru terlihat mengerikan. Mengerjai Hinata tentu sangat mengasyikkan baginya. "Rasakan! Kamu duluan yang main-main tadi."
"Naru, CUKUP! Ampun, ampun!" Jelas Hinata menjadi terengah-engah sebab aksi jahil kekasihnya itu. "Sakit perut aku. Tega kamu, ih!" Keluh Hinata dengan napasnya yang sesak, berikut detak jantung memburu. Sedangkan Naru, puas mengejeknya di sana. "Bahagia ya bikin aku engap-engap." Sisa tawanya habis dan saat ini Naru mengamati sayu kondisi Hinata.
"Begini doang langsung berkeringat, muka kamu parah merahnya." Naru menyingkirkan perlahan rambut-rambut yang menghalangi wajah Hinata, menatap penuh minat terhadap ekspresi alami yang dipampangkan kekasihnya. "Tapi aku kok suka, ya? Kamu jadi seksi." Wajahnya makin turun dan turun, hingga dia mempertemukan bibir mereka untuk sebuah gesekan lembut.
Tentu Naru menebak akan bagaimana reaksi kekasihnya, Hinata datang dengan kedua tangan merangkul lehernya. Hasrat terbuka kala Naru seperti membiarkan tubuhnya terjatuh di atas Hinata, namun dia menopang dengan kedua tangannya. Awalnya hanya kecap basah mengalun. Berangsur-angsur Hinata melagukan hasratnya, ketika cumbuan menjelajah rahang ke lehernya.
"Hasil rayuan kamu." Sepenggal bisikan seduktif, memengaruhi gairah keduanya.
Hinata menggeliat, lagi. Sejemang sebutan nan merdu itu terungkai, Naru terperanjat tiba-tiba. Akhir dari perbuatan yang bermula dalam menit. Dering ponsel menjerit sampai ke telinga Naru, sekali dan dua kali terus berbunyi.
Tergesa-gesa Naru berlari menuju kamar demi meraih ponselnya yang betah berteriak. Dia teringat pada wacana tempo hari, di mana akan ada job besar yang segera menampung keahliannya. Di sofa? Hinata bangkit usai mendengkus. Dia ke dapur untuk mengambil sebotol air dingin di kulkas.
Bersambung...
By;
Laceena & Cleorain
KAMU SEDANG MEMBACA
JEALOUSY ✓
Fanfiction>Collab with @Cleorain >Cover by @Cleorain Menjalin hubungan sangat lama hingga tujuh tahun. Namun tak juga mengantarkan mereka pada satu hubungan pasti, pernikahan. Apa sebenarnya yang terjadi pada sepasang kekasih yang saling mencintai ini?