Chapter 9

2.7K 418 353
                                    

Diam, Naru memperhatikan kertas yang berisi kontrak kerjanya selama sebulan ke depan, sebuah pemotretan untuk produk lingering terbaru dari brand Natori bersama Shizuka sebagai modelnya. Membacanya sekilas sudah membuat Naru paham, isinya hanya berupa komisi yang ia dapat berserta jam kerja yang mengikat dirinya satu bulan ke depan.

"Semoga kerja sama ini berjalan lancar ya, Naruto." Shizuka berkata dengan segaris senyum di bibirnya, ia sangat senang karena Naru bersedia mengambil projek ini. Dia pikir projek ini bisa saja mendekatkan hubungannya dengan Naru karena mereka akan terlibat satu lokasi.

"Tentu." jawab Naruto seraya menandatangani dokumen kerjanya. Sekilas ia melirik Shizuka dan atasannya di agensi, Mr. Louis. "Sudah selesai?"

Mr. Louis mengangguk seraya mengamati, sedikit ia paham bahwa Naru merasa kurang nyaman dengan pertemuan mendadak yang menyita waktu liburnya saat ini. "Ya, sampai ketemu besok."

"Tunggu, jangan dulu! Kau belum boleh pergi. Naruto harus menemani aku. Anu ... maksudku kita perlu briefing." ujar Shizuka dengan terbata-bata, tak ingin perjumpaannya dengan Naru berakhir cepat.

"Kau yakin? Seingatku ini bukanlah kerja sama kalian yang pertama, harusnya tidak perlu briefing khusus." sahut Mr. Louis dengan ekspresi malas. Pasalnya Shizuka terlampau banyak menuntut macam-macam meski kinerjanya patut diapresiasi. Tak jarang sikap dia yang banyak maunya itu sering mendapat respons negatif dari para staf ataupun fotografer lain yang pernah terkait dengannya.

"Pokoknya ini penting, aku tidak bisa melewatkannya begitu saja!" seru Shizuka agak memaksa.

Suka tak suka Naru harus menerima permintaan Shizuka, duduk berdua  seraya membicarakan hal-hal yang sebenarnya tak sesuai dengan perkiraannya. Mudah sekali ditebak bahwa dia hendak mencoba menarik perhatian Naru. Shizuka terus berceloteh mengenai kiprahnya dalam dunia permodelan, padahal berkali-kali Naru mendengarnya dari rekan yang lain.

"Kau tahu Max, mantan kekasihku? Dia sangat kurang ajar. Bayangkan saja, dia meninggalkanku dan malah berselingkuh dengan wanita lain. Dia pikir siapa dia? Menyia-nyiakan wanita cantik sepertiku? Dasar laki-laki brengsek."

Kepalanya kontan terserang pening, gara-gara mendengar racauan tak penting dari mulut Shizuka.

"Aku tidak kenal dia."

"Tidak apa-apa, lupakan saja." Shizuka tersenyum beriringan Naru memalingkan wajahnya, "Kalau kita bertemu lebih awal, aku pasti berkencan denganmu."

Naru agak terkesiap dan langsung memandang Shizuka dengan cara yang berbeda, sedikit menampakkan ketidaksukaannya terhadap pengakuan sekian.  "Shizuka, sepertinya ada yang perlu kukatakan agar kau mengerti. Aku punya kekasih dan hubungan kami berjalan sudah lama dan kami sama-sama serius."

"Apa dia lebih cantik dariku?"

Suasana di antara keduanya tidak lagi nyaman bagi Naru, dia menarik napasnya dalam-dalam dan bicara, "Shizuka, aku sangat menghargaimu sebagai seorang wanita. Jadi, kuharap kita tetap menjaga kerjasama ini dengan baik." tutur Naru sebelum bangkit dari duduknya. "Senang bisa bekerjasama lagi denganmu." katanya sebelum berlalu meninggalkan Shizuka yang kini mesem-mesem di tempat.

.
.
.

Naru menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. Prilaku Shizuka tadi benar-benar membuatnya kesal. Tingkah genitnya bisa saja menjadi racun dalam hubungan dia dan Hinata jika tidak  berhati-hati sedari sekarang.

"Sial!"

Alhasil roda setir menjadi samsak, demi meluapkan rasa dongkol yang memenuhi pikiran. Dia tidak bisa semena-mena dengan Shizuka, sementara pekerjaannya saat ini  bergantung padanya. Berada dalam situasi tak mengenakkan tersebut membuat kepalanya bertambah pusing. Menolak mentah-mentah atau ketus pada Shizuka sama seperti sengaja menghancurkan karier yang ia perjuangkan selama ini. Sejenak Naru berpikir, menatap lurus ke depan seakan sedang menimbang-nimbang. Barangkali secuil ketegasan dapat dia layangkan, andai benar-benar Shizuka kelewat batas.

.
.
.

"Kenapa tidak memesan makanan atau mengajak Ino makan diluar? Ini sudah jam berapa? Aku khawatir kau masuk angin, Hinata." Naru menuturkan seraya berkutat bersama panci, kompor dan peralatan memasak lainnya. Dia tengah menyiapkan makan malam yang terlambat untuk kekasihnya. Ya, walau dia sendiri pun lupa mengisi lambungnya yang sama keroncongan.

Dengan gesit Naru mengambil mangkuk, mengisi bubur ayam yang telah matang hingga 3/4 penuh. Ia menaburkan daun bawang, telur rebus dan irisan daging ayam di atasnya. "Makanlah, akan kubuatkan teh hangat untukmu." Naru menginterupsi mula dia menyeduh teh di dalam teko, menuangkannya ke cawan.

"Maafkan aku, harusnya aku yang melakukan ini semua." tahu-tahu Hinata menunjukkan penyesalan di matanya.

"Kenapa meminta maaf? Kita  melakukannya secara bergantian selama bertahun-tahun, dan sekarang kamu malah keberatan?"

"Akhir-akhir ini aku selalu menyusahkanmu. Membiarkanmu melakukan pekerjaan rumah, memasak, aku jadi merasa tidak berguna."

"Jangan begitu,aku tidak merasa direpotkan. Sedikitpun tidak. Kulakukan karena aku merasa bertanggung jawab atas dirimu. Ayo, makanlah... atau mau aku yang menyuapimu?" Hinata menengadah, matanya mengamati serius kelelahan di wajah tampan pria ini. Sejemang sudut matanya berair, mengalir bebas tiada tertahan. "Apa aku salah bicara? Kenapa kau menangis?" Naru bertanya heran, menyeret kursinya agar makin dekat dengan Hinata.

"Tidak..." Hinata tergesa-gesa mengusap air matanya. "Aku hanya cape. Mereka terus menduga-duga nasib hubungan kita, aku jadi takut"

"Katakan semuanya agar aku mengerti."

Tatapan tajam dan menuntut dari manik yang menenangkan membuat Hinata lemah, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Mereka bilang kau tidak akan menikahiku." terucap jua kesahnya. "Aku juga ingin marah karena kau membatalkan kencan kita hari ini, jarang sekali buat kita berdua bisa memiliki  waktu senggang."

"Siapa yang mengatakan itu padamu?"

"Mereka semua, teman-temanku."

"Astaga, Hinata. Memangnya sudah berapa lama kita hidup bersama? Kenapa  sepenggal opini orang lain yang belum tentu terbukti dapat mempengaruhimu? Kau tidak percaya lagi padaku?"

"Bukan ... tidak begitu."

"Lalu?"

"Sudah kubilang aku hanya takut!" ia meninggikan suaranya sembari menghapus ulang air mata yang masih turun.

"Kemarilah! Kau hanya butuh ketenangan untuk menghilangkan kemarahanmu." dua lengannya terbuka, menyiapkan pelukan penghibur. "Aku di sini, di depanmu, di sisimu. Aku pergi bekerja dan tetap kembali ke sampingmu. Tidakkah itu cukup untuk meyakinkanmu?" Lantas Hinata menjatuhkan diri ke dalam dekapannya.

Bersambung...

By
@Laceena & Cleorain

JEALOUSY ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang