Chapter 10

3.4K 453 275
                                    

Aroma kayu cendana berpadu dengan manisnya aroma cokelat menyambut indera penciuman Naru saat dia terbangun pagi ini. Ia meraba-raba sisi kanan ranjang mencari keberadaan Hinata, membuka paksa kelopak mata ketika dia tidak menemukannya di sana.

Usai menikmati makan malam, kegiatan keduanya berlanjut pada obrolan serius. Semua kegundahan yang selama ini Hinata pendam akhirnya bisa terungkap. Ia mengaku sering dibayangi hal buruk bahwa hubungan mereka akan usai seperti kata orang-orang terdekatnya. Ia takut, tak pernah siap bila itu terjadi. Air mata Hinata jatuh tanpa sungkan di hadapan Naru, hingga menyebabkan dia merasa bersalah. Aku tidak mungkin bertahan sampai sejauh ini jika tidak serius dalam hubungan kita. Ucapan tersebut dia harapkan mampu mendinginkan hati Hinata.

Malam tadi, cukup lama keduanya hanyut di keheningan yang romantis.
Naru mengusap-usap rambut Hinata sampai turun ke punggung, seolah sedang membujuk dan meyakinkan Hinata bahwa semua akan baik-baik saja. Ketenangan Naru saat menghadapi emosi Hinata berhasil memperbaiki.

Larutnya malam bersama waktu yang terus berputar menggiring Hinata benar-benar terlelap di pelukan Naruto. Dia sempat melirik Hinata yang tengah tertidur pulas, kau berpikir kejauhan. Aku sendiri tidak bisa melepas hubungan kita, harusnya kau sadari itu.

Pada akhirnya, malam yang agak tegang mengabur sudah oleh pembicaraan yang lebih terbuka. Kini Naru tahu kecemasan yang dialami Hinata dan dia memaklumi, tak ingin mempermasalahkan lebih jauh atau mengkritik sikap cemburu kekasihnya itu.

Arti cinta bagi keduanya makin mendalam dengan berbagai pengalaman komunikasi yang jujur. Suasana perjalanan asmara di antara sejoli ini dikelilingi dengan sentuhan-sentuhan romantis yang keluar dari hati terdalam. Hinata sebenarnya pun mengerti, kendati terkadang emosi tersebut bisa dengan mudahnya dipengaruhi sugesti orang di sekitarnya.

•••••

Dengan langkah gontai Naru berjalan menuju ke pantry dapur. Benaknya menebak Hinata sedang di sana, seperti kebiasaan mereka jika salah satunya terbangun lebih dahulu.

Sengaja tetap hening, Naru berdiri beberapa meter dari Hinata sembari menyilangkan lengan-lengannya ke  dada. "Aku 'kan belum membangunkanmu, kenapa turun?" tanya Hinata selagi dia mengaduk adonan panekuk dengan menggunakan balloon whisk.

"Aku bangun dan kau tidak ada, ya sudah aku turun saja."

"Tidurmu tidak nyenyak?" Hinata mengumumkan lagi dan meletakkan wadah berisi adonan tadi ke atas meja.

"Kau sendiri? Mestinya aku yang menanyakan itu."

"Aku tidak apa-apa, sangat nyenyak malah."

"Yakin? Bilang saja jika masih ada yang mengganggu pikiranmu." langkah demi langkah Naru mendekati, "Lain kali jangan ditahan, apapun yang mengganjal ceritakan padaku."

Hinata melirik, begitu ia memanaskan teflon di atas kompor. "Maaf, salahku juga karena terpengaruh omongan mereka."

"Bukan itu yang ingin kudengar. Aku serius soal kecemasanmu. Sebaiknya  lebih terbuka lagi, aku harus memastikan agar dirimu tidak terbawa perasaan seperti kemarin."

Hinata mendengkus, dalam hati menyesali sikap kekanak-kanakannya. Ia melupakan satu hal bagaimana  Naru akan berubah protektif bila dia menunjukkan kesedihan atau kekecewaan. Ia memutar knob kompor untuk mematikannya, saat menyadari pan tadi sudah terlalu panas.

Dua langkah maju Hinata berada sangat dekat dengan Naru, berjinjit untuk mendaratkan satu kecupan di pipinya. "Sungguh, maafkan aku jika membuatmu khawatir. Aku tidak meragukan apa-apa darimu. Yang kutakutkan justru tindakan orang-orang di sekelilingmu." Hinata lantas memeluknya.

"Mereka memang cantik-cantik, banyak temanku juga mengagumi." Naru menumpukan dagunya di atas kepala Hinata. "Tapi kau telah memenuhi pikiran dan hatiku. Aku tidak punya sisa ruang lagi untuk memperhatikan mereka, hanya sebatas rekan kerja dan aku berusaha secara profesional. Sulit menjelaskannya, tapi aku memang tak pernah merasa cukup. Maksudku ... banyak yang ingin kulakukan denganmu, lagi dan lagi di dalam pernikahan kita nanti."

Air mata Hinata bermuara dan turun ke pipi. "Aku memang bodoh."

"Tidak perlu menangis, bukan bodoh namanya saat merasa cemburu. Itu manusiawi. Mungkin kalau situasiku sama denganmu, ini juga yang terjadi. Hanya saja aku tidak punya kesempatan untuk mendengar ocehan mereka, atau mungkin kudengar tapi aku mengabaikannya. Cukup hatiku yang bicara, ada dirimu di sana. Kalau tidak keberatan, bersabarlah sedikit lagi. Aku sedang berusaha memenuhi semua yang terbaik untuk kita, agar kau selalu bahagia."

Hinata menggeleng-geleng, tak banyak yang bisa dia ucapkan. "Apapun yang kau lakukan, aku tidak bisa tidak bahagia."

"Jadi kau mendukungku?"

"Tentu saja."

"Ya sudah, mungkin kau perlu membuktikannya sendiri. Mau pergi ke studio bersamaku?"

"Memangnya boleh?"

"Kenapa tidak? Hari ini ada pemotretan besar. Kalau mau kau bisa ikut."

"Takutnya konsentrasimu terganggu karena aku."

"Tidak akan, kecuali kau modelnya." Hinata cekikikan malu, "Jika mau aku bisa juga memotretmu di sini, model teristimewaku." Naru berujar, senyum tampan yang melekat di wajahnya terulas. Kedua lengannya masih bertahan mengungkung tubuh Hinata.

"Selalu saja menggodaku."

"Serius, aku tidak bercanda. Hanya aku yang bisa melihatmu."

"Aku tidak secantik model-modelmu."

"Maksudnya ... kau lebih cantik?"

"Bukan begitu ..."

"Ayolah, buat apa malu denganku. Akui saja, apalagi dari jarak sedekat ini. Cantik sekali."

"Hentikan!"

"Kenapa?" sontak Naru tersenyum geli gara-gara  menyaksikan gelagat Hinata yang kini tersipu.

"Ini masih pagi dan kau sangat senang menggodaku."

"Itu cuma perasaanmu saja, tidak kok."

"Jangan mengelak..."

"Tidak..."

"Iya, kau menyangkalnya."

"Tidak..."

"Iya!"

"Tidak, tidak salah lagi." gurau Naru dan Hinata membalasnya dengan pukulan-pukulan ringan di dadanya.

"Hinata..."

"Ya..."

"Kau tidak melupakan sesuatu, sayang?"

"Apa ...?"

"Itu ..."

"Itu apa?"

"Maksudku itu ..."

"Yang mana?" Hinata masih tenang dalam dekapan Naruto, meski tetap jua menyahut kata-katanya.

"Adonan panekukmu, bagaimana nasibnya?"

"Astaga! Untung diingatkan." jawab Hinata gelagapan dan buru-buru memanaskan teflonnya kembali. "Kau pasti sudah lapar."

"Aku bisa menunggu."

"Maafkan aku, makanya jangan mengajakku mengobrol. Aku jadi lupa yang lain."

"Kenapa menyalahkanku?"

"Tidak, hanya saja sikapmu sering membuatku terlena."

"Oh, manisnya."

"Aku tidak sedang bercanda."

"Oke, aku  akan duduk dan tetap diam. Tapi hati-hati, kau pernah menggosongkan panekuknya."

"Naru, aku butuh konsentrasi!" seru Hinata lagi setelah menuang adonan pertama ke teflon.

"Baiklah, aku mengerti."


Bersambung...

By:
Laceena & Cleorain


JEALOUSY ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang