Chapter 15

1.9K 382 176
                                    

By:
Laceena & Cleorain

Naru tidak pernah tahu kinerja perusahaan keluarganya berkembang begitu pesat tahun-tahun belakangan. Selama ini ia hanya sebatas mengetahui profit dari perusahaan itu tanpa menyelami lebih lanjut perihal bagaimana keuntungan besar bisa diperoleh. Dan kini, dengan amat canggung Naru menyambangi perusahaan yang dipimpin ayahnya. Oh ayolah, dia selama ini bekerja sebagai fotografer bebas dan tidak pernah terikat aturan formal.

Kenyataan perusahaan tersebut milik keluarganya, tak menyebabkan Naru lantas bertingkah layaknya bos-bos menyebalkan, ia memang pria berkepribadian tenang. Seraya memperhatikan gedung bertingkat nan megah di depannya ia menghela napas, lalu kaki beralaskan sepatu pantofel itu melangkah masuk ke gedung Namikaze Corporation. Wajah tampan didukung tubuh atletis dengan stelan jas lengkap berwarna hitam yang ia kenakan, berhasil membuat penampilan Naru semakin gagah dan memesona. Terang saja ia langsung menarik perhatian para kaum hawa untuk melirik genit padanya. Tak tanggung-tanggung, beberapa dari mereka bahkan secara terang-terangan melancarkan rayuan terdengar manis juga menggoda.

Naru menghela napasnya dalam-dalam, baru dimulai dan ia mesti berkutat dengan perusahaan selama tiga hari ke depan. Tentu hal ini cukup berat baginya, mengingat ia masih dalam kontrak pemotretan bersama Shizuka. Beruntung perempuan itu tak menyulitkan posisinya kemarin, lagi pula Naru berjanji akan membayar dengan tanggung jawab penuh sekembalinya dia dari Nagoya.

"Lihat! Wajahnya mirip sekali dengan presdir."

"Menurutku dia lebih tampan dari bos besar."

"Kalian ini bagaimana sih? Dia itu 'kan anaknya, tentu saja tampan dan mirip."

"Dia lebih gagah dan... seksi."

"Kudengar dia belum menikah. Aku siap menjadi calon pengantin untuknya."

"Jangan bermimpi, dia tidak mungkin melirik perempuan biasa sepertimu."

Ocehan-ocehan dan tawa para karyawati itu membuat Naru menggelengkan kepalanya. Demi, Tuhan! Apakah harus bergosip dengan suara sekencang itu? Ia mengarahkan iris birunya ke kerumunan perempuan tadi, menatapnya datar dan tanpa minat. Namun yang ia terima justru decak kagum bersama kerlingan mata. Berakhir laki-laki itu mendengkus lalu meneruskan langkahnya dengan cepat.

"Tuan, sepertinya mereka tertarik pada anda." Yamato mengimbuhkan dengan kekehan diam selagi dia berusaha menyamakan langkahnya dengan kaki Naru.

"Biarkan saja, Paman. Aku tidak mengerti kenapa ayah mempekerjakan orang-orang yang suka membuang waktu mereka untuk hal tidak penting." tuturnya. Kini dia dan Yamato berada di dalam lift menuju ruang presdir di lantai tujuh di mana ayahnya biasa bekerja.

"Sebelumnya mereka tidak begitu, Tuan. Baru kali ini..."

"Paman, sudah kubilang sedari tadi, panggil Naruto saja. Aku ini lebih muda darimu. Rasanya agak canggung, seolah kau menyamankanku dengan ayah." sela laki-laki itu menolak perlakuan formal yang menurutnya agak berlebihan.

"Maafkan aku, Tuan, maksudku Naruto. Aku hanya berusaha bersikap pantas pada atasanku." jawab laki-laki berambut cokelat itu demi meluruskan dugaan Naru.

"Aku hanya sementara di sini, Paman. Ayah tetaplah pimpinan dan pemilik perusahaan ini. Sebagai anak, aku hanya berupaya membantu dan menyenangkan hatinya. Bagaimanapun juga, aku ingin berbakti pada mereka. Meskipun yang kulakukan tidak ada apa-apanya dibandingkan semua yang telah mereka berikan untukku selama ini." papar laki-laki itu saat menjelaskan tujuannya.

"Kau tidak berubah, masih sama seperti dulu. Pantas saja mereka sangat menyayangimu, kau pria yang baik juga bertanggungjawab. Siapa pun yang menjadi istrimu nanti pastilah beruntung." Yamato menuturkan pujian untuknya. "Oh, ya. Bagaimana dengan pekerjaanmu? Kau ini fotografer handal 'kan? Aku mendengarnya dari Nyonya Kushina."

.
.
.

Naruto menatap layar laptop milik ayahnya dengan lesu. Dokumen excel berisi laporan kinerja karyawan, laporan personal, hingga laporan keuangan membuat kepala Naru berdenyut seketika. Ia mendesah pelan, baru permulaan, tapi dia sudah sepusing ini. Perlahan laki-laki itu mulai mengumpulkan fokusnya untuk merapikan semua dokumen yang kacau tersebut dengan teliti.

Tanpa sadar Naru tersenyum, mengamati grafik laporan keuangan di depan mata menyebabkan ia teringat akan Hinata. Sekiranya sedang apa kekasih cantiknya itu sekarang?

Di sela-sela lamunan, Naru tersentak dan berniat menelepon Hinata. Tapi sayang nomor kekasihnya itu ternyata sedang tidak aktif. Barangkali ia pula tengah disibukkan tugas-tugas kantor yang kerap menguras otak. Memikirkan hal itu membuat Naru terserang rasa kecemasan. Mau bagaimana lagi, keadaan memaksanya untuk tetap berada di sini sampai beberapa hari ke depan. Tampak ia memijat-mijat keningnya pelan, lalu melirik cermin yang tergantung di dinding.

"Ayo beraksi tampan." tuturnya seraya merapikan simpul dasinya yang mulai kendur. "Semakin cepat ini selesai, semakin cepat kembali ke Tokyo." ujar Naru demi menyemangati dirinya sendiri.

"Anak muda sepertimu memang selalu bersemangat, ya." ungkap Yamato yang turut merasa senang saat memperhatikan kecakapan Naru.

▪▪▪

Menjelang petang, anak muda berparas menawan itu sudah tiba di rumah. Mengenakan gaun sederhana yang panjangnya selutut, ibu menyambut putra semata wayangnya di depan pintu. Warna kuning lemon begitu serasi untuk paras yang anggun dibingkai senyum cantik di wajahnya yang selalu tampak muda.

"Kenapa tidak menunggu di dalam saja? Tidak perlu menyambutku sampai seperti itu, Bu." ucap Naru dengan nada suara halus sambil tersenyum singkat. "Di mana ayah?" tanyanya selagi ia menggiring ibu untuk masuk ke dalam.

"Ada pertemuan bisnis dengan rekan lamanya. Ayahmu bilang akan pulang agak malam, mungkin  sekalian reuni." jawab Kushina seadanya. "Ibu buatkan kopi untukmu, ya? Tadi ibu juga memasak kue kesukaanmu. Kau masih ingat, kan?"

"Marusei butter sandwich? Aku tidak pernah melupakan kue itu, sampai sekarang. Terima kasih Ibu mau membuatkannya untukku." ucap Naru setelah memberi ciuman sepintas di pipi ibunya.

"Selagi kau di sini... katakan saja apa yang ingin kau makan, ibu akan menyediakan semuanya." kata Ibu kemudian membawa baki dan menghidangkan secangkir kopi berikut sepiring kecil kue marusei ke hadapan Naru.

"Aku tidak enak pada ayah bila harus merepotkan Ibu." Naru menyesap kopi panas itu perlahan, lalu mencicipi kue marusei-nya. "Astaga, Ibu yang terbaik, aku seperti memakan lagi kueku beberapa tahun yang lalu. Bagaimana bisa rasanya masih tetap sama, Ibu?" begitu tekstur kue lembut itu bercampur dengan krim yang meleleh di mulut. Naru tidak bisa berhenti untuk memakannya sembari terus mengatakan pujian-pujian manis untuk ibu.

"Bawa Hinata ke mari, Ibu ingin mengajarkan menantu ibu resep-resep makanan yang kausuka juga kue ini. Jadi kapanpun kau mau, dia bisa membuatkannya untukmu." senyum ibu begitu tulus saat mengutarakan niatnya, tatapan hangat itu bahkan sangat menenangkan bagi Naru.

"Ibu, sebenarnya aku membutuhkan bantuan Ibu. Tapi berat sekali untuk menjelaskannya, takut Ibu  malah kerepotan nanti." ujar Naru ragu-ragu, tak lama ia mendengkus.

"Kalau bukan pada Ibu, ke mana lagi kau membagi masalahmu. Bukankah sedari dulu hanya Ibu tempatmu bercerita, meskipun Ibu tidak bisa memberikan bantuan apa-apa." pengakuan Ibu membuat dada Naru mencelos, teringat kembali saat di mana dia memilih meninggalkan rumah dan memulai kehidupan baru sesuai dengan rencananya sendiri.

"Maafkan aku, itu bukan salah Ibu. Tolong jangan bilang begitu. Kali ini aku serius, hanya Ibu yang bisa kuharapkan." Naru mulai kehilangan keyakinan hingga raut wajahnya tampak memelas agar Ibu berkenan membantu.

Helaan napas ringan terdengar dari Kushina, "Apa saja pasti Ibu lakukan untukmu." kesediaannya membuat Naru bisa kembali bernapas lega, Naru tersenyum sembari serius mengamati ibu.

"Apa Ibu mau membantuku mempersiapkan resepsi pernikahan? Aku ingin membuat kejutan istimewa untuk Hinata, aku bersyukur dia selalu setia mendampingiku sampai sekarang dalam keadaan apa pun. Aku sangat mencintainya Ibu."

Bersambung...

JEALOUSY ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang