Ino menatap heran bawahan yang juga adalah sahabat baiknya itu. Pasalnya sedari tadi Hinata hanya mengaduk-ngaduk nasi karenya. Seolah tak berminat, ia mengabaikan makanannya hingga dingin. Bahkan es batu di dalam es tehnya pun sudah mencair.
"Lupakan saja dia." Ino membuka suara seraya menyeruput jus jeruk-nya.
Kernyitan di dahi Hinata muncul. "Lupakan siapa maksudmu, Ino?" Hinata bersedekap dan mengamati serius wajah wanita bersurai blonde tersebut.
"Kekasihmu." Ino menjawab enteng, raut wajahnya tampak biasa.
"Naru...?! Gila...! Ucapan bodoh apa itu. Tidak! Aku masih waras." sahut Hinata dengan nada suara yang tinggi.
Helaan napas panjang terdengar dari mulut Ino. "Buktikan kalau kau masih waras. Kau sengaja mau membuang makananmu atau apa? Dari tadi di otakmu cuma Naruto dan Naruto. Padahal tinggal serumah, seranjang. Bodoh!" timpal Ino lagi.
"Kau tidak paham, Ino. Semakin hari aku tak bisa rela bila dia berjam-jam meninggalkanku."
"Ikat saja, kalau perlu kau rantai. Beri tiga atau lima gembok dengan begitu dia tak bisa ke mana-mana."
Tatapan Hinata berubah nyalang. Ia benar-benar kesal mendengar perkataan yang keluar dari mulut culas sahabatnya itu. Seringai jahat tiba-tiba terlihat di wajahnya. "Aw! Hinata!" pekik Ino. "Kenapa kau menginjak kakiku?" ujarnya lagi seraya mengusap ngusap punggung kaki-nya yang sakit sebab sengaja dipijak oleh Hinata.
"Rasakan. Untuk mulutmu yang suka menyerocos. Naru bukan peliharaan. Seenaknya saja kau bilang merantainya. Kau lakukan saja sendiri pada zombi kesayanganmu." sergah Hinata.
Ino memutar bola matanya, bosan dengan sanggahan Hinata yang selalu seperti itu jika merasa kalah. "Apa memangnya yang kau pikir 'kan? Karena priamu terlalu tampan dan kau takut dia bersama wanita lain, begitu? Ya... memang sih. Kekasihmu itu mampu membangkitkan napsu hanya karena orang-orang menatapnya."
Hinata mengigit bibir bawahnya tanpa ia sadar. Mengingat kembali kejadian pagi tadi di mana nyaris saja mereka bercinta andai ponsel sialan milik kekasihnya itu tidak mengganggu. Ia sampai berencana mengubah pengaturan nada ponsel Naru dalam mode hening, dengan begitu tak ada hal-hal berisik yang bisa mengganggu momen mereka.
Hinata menghela napasnya lumayan lama, seraya bertopang dagu, ia senyum-senyum sendiri memandang ke atas. "Kau bisa menilainya sendiri. Bukankah sudah berkali-kali kau melihatnya?" ia menimpali tanpa menoleh.
"Ehm... kupikir suaranya yang serak, kulit eksotis, dada bidang seperti binaraga, dan aku yakin ukuran ..."
"Cukup! Hentikan Ino. Kau seperti menelanjangi dia di depanku." Maniknya menatap tajam pada Ino. "Awas saja kalau kau membuatnya sebagai objek fantasi liarmu. Cukup mengkhayalkan pria yang ada di majalah koleksimu. Tidak Naru."
Hinata tentu tidak akan pernah rela bila ada perempuan lain yang memimpikan prianya. Jangan coba-coba. Wanita itu bahkan merekam setiap peristiwa yang mereka lalui bersama. Cara Naru memperlakukannya sungguh istimewa.
Pernah terjadi di mana Hinata yang saat itu sakit dan menyebabkan dia harus berbaring seharian di kasur. Naru merelakan diri mengambil alih semua tugas yang biasa Hinata kerjakan. Bahkan cara pria itu memanjakannya. Terkutuklah bagi siapapun yang mengharapkan hal itu selain dirinya. Umpat Hinata dalam hati. Hanya dia yang boleh menyicipi segala cinta dan kesempurnaan prianya tersebut.
"Aku jadi iri padamu, Hinata." Ino membuka suara. Ia tak tahan melihat Hinata yang semakin tak waras sekarang. Perempuan itu masih saja mesem-mesem tidak jelas. Entah apa yang ada di otaknya sekarang. Yang jelas Ino mulai geram ketika harus melihat sahabatnya tersebut tahan berjam-jam hanya untuk melamun. Ya, Tuhan. Dia memang perempuan gila, pikir Ino.
"Kau juga punya kekasih, Ino. Iri tidak tepat dalam posisimu." jawab Hinata seraya mengalihkan atensinya pada Ino.
"Aku tau, tapi tidak setampan priamu, meskipun Sai juga hebat dalam urusan ranjang. Tapi aku yakin, Naruto..." Ino mengamati wajah Hinata, berjaga-jaga kali saja temannya itu kembali berbuat brutal seperti menginjak kakinya lagi. "Sudahlah lupakan saja." imbuh Ino mendapati mimik wajah Hinata yang hampir menyalang lagi padanya.
"Tidak apa jika kau mau meneruskannya." timpal Hinata, kemudian menyeruput es teh lemonnya yang nyaris hambar.
"Hinata." kali ini Ino berwajah serius. Ia tidak sekedar ingin bergurau dengan sahabatnya tersebut. "Aku tidak main-main. Kurasa, sebaiknya segera resmikan hubungan kalian. Percayalah, pasti banyak wanita yang mengincar kekasih tampanmu itu. Apalagi, aku sempat mendengar ada satu kelompok orang-orang bodoh yang mengharapkan hubungan kalian kandas."
Memang, sudah menjadi rahasia umum khususnya di sosial media. Banyak pihak-pihak yang tidak berkepentingan justru seolah ingin ikut campur dalam hubungan keduanya. Tak menampik pula ada orang-orang yang tanpa alasan masuk akal malah membenci Hinata dan mengatakan bila ia tak pantas bersama Naru.
Tanpa Hinata sadari ia menggigit kuat sedotannya untuk melampiaskan rasa kesal yang menghampiri dirinya secara tiba-tiba. "Lihat saja, akan ku buat mereka kehabisan air mata karena terlalu berharap."
.
.
.Setibanya Hinata di apartemen, ia segera melepas sepatu berhak tinggi yang ia pakai. Rasa-rasanya ia sangat merindukan prianya itu setelah uring-uringan sebab kabar tak mengenakkan yang ia dengar dari Ino di kantin tadi.
"Hei, sayang. Akhirnya kau pulang." Hinata tercekat mendapati lengan kekar yang melingkar di pinggang rampingnya.
"Ada apa? Kenapa diam?" imbuhnya lagi seraya membaui sisa aroma parfum Hinata di ceruk leher wanita itu."Kau mengagetkan aku. Kupikir kau belum pulang."
"Pemotretannya selesai siang tadi dan aku langsung pulang ke rumah. Tak ada ciuman untukku?" Naru berujar manja bersama suara serak yang menjadi ciri khas pria itu. Ia memutar tubuh Hinata hingga berhadapan dengannya.
"Baiklah pria besar yang manja." tutur Hinata setelah menangkup rahang tegas itu lalu mendaratkan satu kali kecupan sayangnya di pipi Naru.
"Aku tidak meminta itu. Tapi yang ini." imbuh Naru sebelum mengecup bibir Hinata.
Hinata hanya diam mengamati wajah kekasihnya. Dengan lengan bertumpu pada leher Naru yang kekar. Hinata memagut bibir Naru dengan mesra juga perlahan. Seraya menekan tengkuk prianya itu, Hinata memperdalam pagutannya dan melumat bibir tipis itu dengan gemas. Setelahnya ia membelai-belai lembut dada bidang Naru sebelum memeluk erat prianya itu, menyamankan kepalanya bersandar di sana.
"Tumben, sayangku romantis sekali, terjadi sesuatu?" tanya Naru yang bingung dengan gelagat Hinata.
Wanita itu menggeleng tanpa melepas pelukannya. "Aku cuma rindu. Entah kenapa akhir-akhir ini aku tak suka terlalu lama berjauhan darimu."
"Maafkan aku, pekerjaanku sedang banyak. Aku jadi tidak punya cukup waktu bersamamu." Naru mendaratkan berkali-kali kecupan di puncak surai gelap milik kekasihnya seraya mengeratkan dekapannya.
"Tidak, jangan minta maaf. Itu bukan kesalahan. Kau juga harus profesional."
Naru bergeming, menikmati hangatnya keintiman mereka saat ini. Bersabarlah sedikit lagi. Aku melakukan semuanya demi masa depan kita. "Senang rasanya memiliki kekasih sepertimu. Kau harus ingat ini, tidak ada satupun wanita yang bisa mengalahkanmu di hatiku. Hanya kau wanita yang paling kucintai setelah Ibu."
Bersambung...

KAMU SEDANG MEMBACA
JEALOUSY ✓
Fanfiction>Collab with @Cleorain >Cover by @Cleorain Menjalin hubungan sangat lama hingga tujuh tahun. Namun tak juga mengantarkan mereka pada satu hubungan pasti, pernikahan. Apa sebenarnya yang terjadi pada sepasang kekasih yang saling mencintai ini?