Jarum jam menunjukkan tepat pukul 7 pagi. Tak ada yang aneh, sudah biasa terjadi kala Naru tersentak terlebih dahulu dari peraduannya, maka ia yang akan menyiapkan sarapan pagi untuk mereka. Apalagi Hinata pasti masih merasakan kantuk berat setelah semalaman bergadang. Kecemasan seketika sirna, hilang usai menikmati quality time yang mereka punya.
Hinata kadang berpikir, di sela-sela kegalauannya. Memang apa yang bisa mereka harap dari sosok kekasihnya, yang setiap hari ada bersama dia. Ia sangat yakin bahwa prianya tersebut belum pernah menaruh minat pada perempuan lain diluar sana. Hanya saja, mendengar bermacam kalimat provokasi yang bisa berasal dari manapun, tak jarang pula berhasil membuat ia berang. Hingga kadang rasa-rasanya ingin sekali dia mengumumkan kepemilikannya pada mereka semua.
Kelopak mata Hinata terbuka perlahan. Dia mendesah saat tak mendapati lengan kekar yang biasa menjadi bantalan tidurnya. Lantas dia duduk seraya mengamati sekitar ranjang mereka yang berantakan. Sejenak Hinata menunjukkan garis lengkung di bibirnya, mengingat kemesraan tadi malam.
Hinata segera bangkit, mengambil selimut dan menutupi tubuhnya yang masih telanjang. Dia berjalan malas ke lemari untuk mengambil kimono berwarna krem kesukaannya. Lidahnya berdecak memikirkan kekacauan di depan mata, mau tak mau yang harus dia lakukan adalah membereskan kamar mereka.
.
.
.
.
.Dengan langkah hati-hati Hinata mengendap-endap masuk ke ruang cuci sebelum dia melancarkan niatnya untuk mengejutkan Naru.
Diam-diam dia terkikik karena melihat betapa seriusnya Naru memasak. "Sudah bangun?" tanya Naru pura-pura tenang. Padahal dia sempat terkejut gara-gara merasakan lengan Hinata sekonyong-konyong melingkar di pinggangnya.
"Kau wangi sekali." mukanya dia benamkan ke punggung Naru.
"Kenapa turun, hem? Karena kau tidak menemukanku?!" Naru berbalik dan merangkulkan pula tangannya di pinggul Hinata.
"Masa aku di kamar sendirian?!"
"Aku pikir kau bakalan malas turun, jadi rencananya makanan ini mau kubawa ke atas."
"Kita makan di sini saja, justru bosan kalau di kamar terus."
"Ya sudah, jika maunya begitu."
"Aku serius baumu benaran enak," saking gemasnya dia dengan aroma tubuh Naru, Hinata seperti terus mengendus guna memuaskan penciumannya.
"Ketiakku juga?!" biar masih terpejam, ucapan Naru ini menyebabkan kening Hinata berkerut. "Coba buka matamu." sontak muka Hinata memerah sekaligus menahan tawanya. Jangka Naru terkekeh, dia pula ikut terbahak. "Mau lagi ketiaknya?"
"Habisnya harum sekali, ganti parfum ya?"
"Kebetulan habis. Aku beli di toko langganan kita kok, cuma mau yang beda saja."
"Cocok kok, aku suka." Nyengir-nyengir berulang kali, dia membuat Naru kehabisan kata-kata.
"Biar kutebak, pasti belum gosok gigi 'kan?" spontan Hinata menggeleng-geleng. "Jorok!"
"Aduh, sakit!" mengaduh karena Naru menyentil hidungnya.
"Mandi dulu. Kita sarapan setelah kau selesai."
"Apa kau akan bosan denganku?" lirih Hinata, sampai Naru terperangah.
"Bosan? Kata siapa?" dahi Naru mengernyit, sembari dia meremas pelan kedua pundak Hinata, "Bagaimana mungkin aku bilang bosan ketika seluruh rasa nyamanku ada padamu, Hinata."
"Kau tidak akan selingkuh, 'kan?"
Naru hanya tersenyum. "Aku tidak suka membuang-buang waktu untuk bermain Satu wanita saja sudah cukup."
"Aku tahu kau bukan pria semacam itu." Hinata tersenyum senang, bergelayut manja pada kekasihnya. Aku lupa merekamnya, lain kali akan kuingat. Andai mereka mendengarnya langsung, pasti lucu sekali melihat reaksi para wanita gila itu.
"Mau kupaksa mandi, Hinata?"
"Tidak perlu! Aku hanya sebentar, 10 menit saja." sanggah Hinata cepat-cepat setelah memberi ciuman selamat pagi di pipi Naru. Selanjutnya dia berlari ke kamar, meninggalkan Naru yang kini tersenyum geli menyaksikan tingkahnya.
Ada masa di mana Hinata tiba-tiba saja bersikap manja, erbanding terbalik dari biasanya ketika Naru senang berada di posisi demikian. Di lain sisi, justru itu adalah salah satu Hinata senangi dari dirinya.
.
.
."Aku hanya membuat nasi goreng." tutur Naru. Keduanya tengah duduk di meja makan sekarang.
"Maaf, harusnya aku yang menyiapkan ini untukmu."
"Tidak masalah, mau aku suapi?"
"Lebih baik aku yang menyuapimu." jawab Hinata sembari mengambil piring nasi gorengnya dan mulai menyuapi Naru.
"Suapkan juga untukmu, kita makan sama-sama." sungguh lembut cara Naru mengusap puncak kepala Hinata.
"Kau tidak terlambat 'kan?"
"Hari ini adalah hari libur semua orang, kau belum melihat kalender?"
"Astaga, aku lupa." lalu satu sendok nasi goreng untuk dirinya sendiri, "Benar enggak ada pemotretan hari ini?"
Naru mengangguk, kemudian mengelap mulutnya dengan tisu, dia menyudahi sarapan paginya. "Mau jalan-jalan enggak?"
Dalam hati Hinata menjerit kegirangan. akhirnya dia bisa menghabiskan waktu seharian bersama Naru. "Boleh. Ke mana saja terserah, asalkan kita berdua."
Tentu Naru tak bisa menyembunyikan senyumannya, semangat Hinata dapat menjadi sebagian dari bahagianya jua. "Ke bioskop? Habis itu kita bermain ice skating, mau?" tawar Naru menyertai seringai tampan di wajahnya.
"Aku sangat sayang padamu." tiba-tiba Hinata duduk di pangkuannya, mengalungkan tangan-tangannya ke leher Naru. "Aku sudah lama menginginkan kencan seperti ini, karena kupikir bisa sekalian menghibur kita dari lelahnya bekerja. "Terima kasih." Katanya, sebagai pengantar dia merapatkan keningnya dengan kening Naru.
"Maaf ya, mestinya aku meluangkan lebih banyak waktu agar kita dapat bersantai. Aku enggak pernah berniat menomorduakan dirimu."
"Aku mengenalmu sejak lama," Hinata bergeming sejenak. "Apa yang terjadi sama kita dulu, saat ini dan nanti ... aku akan tetap berdiri di sampingmu, cuma aku."
Detik sekian Naru tergelak kecil. "Siapa yang mampu menggantikan posisimu, kecuali dirimu sendiri? Artinya tidak ada seorangpun."
"Setiap hari aku dibuat jatuh cinta, sihirmu mengerikan." mungkin sebentuk rayuan tidak terencana oleh Hinata.
"Berkat dirimu yang apa adanya, itulah yang menahanku." Dan Naru mengakui apa yang memang patut dia katakan.
Bersambung...
By;
Laceena & Cleorain
KAMU SEDANG MEMBACA
JEALOUSY ✓
Fanfiction>Collab with @Cleorain >Cover by @Cleorain Menjalin hubungan sangat lama hingga tujuh tahun. Namun tak juga mengantarkan mereka pada satu hubungan pasti, pernikahan. Apa sebenarnya yang terjadi pada sepasang kekasih yang saling mencintai ini?