Pasar itu terletak di sebuah lapangan luas, di Beit Lahiya, Gaza Utara. Terdapat spanduk besar menggantung di atas tiang yang bertuliskan 'PASAR GRATIS DARI INDONESIA UNTUK GAZA'. Riuh rendah ucapan syukur serta doa-doa bergulir dari bibir para penduduk sipil yang membanjiri pasar. Wajah mereka terlihat cerah dengan senyum merekah dan mata berkaca-kaca. Hati mereka menghangat atas kebaikan warga Indonesia yang senantiasa memenuhi kebutuhan mereka dari berbagai sektor. Mulai dari bahan pangan, kesehatan dan juga pendidikan.
Ratusan karung beras, minyak goreng, makaroni, tepung gandum, gula dan bahan sembako lainnya sudah tersusun rapi di beberapa meja panjang yang berjajar. Di sana juga tersedia daging, sayur-sayuran, dan buah-buahan yang bebas untuk dipilih secara percuma. Sayur dan buah-buahan tersebut sengaja dibeli dari para petani Gaza dan dibagikan untuk warga Gaza yang membutuhkan.
"Ibu, ibu ..., apakah nanti malam kau akan memasak daging untukku?"
"Iya, Sayang. Nanti malam aku akan memasak daging yang lezat untukmu."
"Alhamdulillah! Akhirnya aku akan makan daging!"
Aisyah tertegun melihat seorang bocah laki-laki yang tampak sangat girang dengan cengiran manis yang menghiasi bibir mungilnya. Baju bocah laki-laki itu sangat lusuh dan sedikit goyak di bagian ujungnya. Dia menarik-narik lengan ibunya yang sedang memesan daging pada aktivis Indonesia di seberang sana.
"Sungguh mulianya hati kalian yang sudah selalu membantu kami dan membuat anak-anak Gaza tersenyum. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian."
Aisyah tersenyum tipis. Dadanya bergemuruh. Sebulir kristal bening lolos dari sudut matanya. Ia jadi tidak sabar ingin segera menggendong bayinya. Meskipun kelak anaknya akan terlahir di tengah carut marut penjajahan Zionis yang entah kapan akan berakhir.
Lagi-lagi hati Aisyah mendadak perih kala harus menelan kenyataan pahit bahwa anak yang dikandungnya adalah anak seorang tentara Zionis yang menjadi sebab saudara-saudaranya di Gaza sengsara seperti ini.
Aisyah menghela napas berat. Dia mengeratkan pegangannya pada keranjang bambu yang dipenuhi buah stroberi. Lalu ia segera menyeret kakinya lebih gontai menyusul Rauda dan Salim yang sudah sampai di depan sebuah meja yang dipenuhi buah-buahan. Mereka sengaja membawa beberapa kilo stroberi hasil panen untuk dibagikan dengan warga lain.
"Kau taruh saja keranjangnya di sini, biarkan Paman dan Bibi yang menyusunnya. Kau beristirahatlah."
Salim mengambil alih keranjang stroberi yang Aisyah pikul. Kemudian Salim membiarkan Rauda memindahkan dan menyusun satu per satu buah-buah stroberi yang ranum dan segar itu ke atas nampah besar yang tersedia.
"Aku sama sekali tidak lelah, Paman. Kalau begitu aku pergi untuk mengambil beberapa sayuran."
"Ya sudah, jangan mengambil terlalu banyak, kami tidak ingin kau keberatan," seru Rauda.
Aisyah mengangguk, kemudian memutar badan dan berjalan lamban menuju meja panjang yang dipenuhi sayur-sayuran hijau dan segar di pojok lapangan. Sepasang bola matanya menyisir lapangan luas yang dipenuhi warga Gaza tersebut. Sedari tadi perasaanya tidak tenang, Aisyah merasa ada yang mengawasi gerak-geriknya. Aisyah mengelus dadanya yang berdebar-debar. Lantunan dzikir serta salawat tak henti-hentinya Aisyah rapalkan dalam hati.
Sesampainya Aisyah di tempat sayuran, ia begitu gesit memilih kacang full yang terlihat hijau dan masih segar. Ia juga mengambil beberapa buah tomat, terung ungu. Aisyah memasukkannya satu per satu ke dalam kantung pelastik putih yang dijinjingnya.
Aisyah menoleh ke samping kanannya kala seseorang datang dan sepertinya hendak mengambil sayuran. Sepasang iris hazelnya sontak membola kala tatapannya beradu dengan sepasang mata elang tajam yang sangat familier baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa ( Sudah Terbit )
RomanceBagai disambar petir, Aisyah tidak percaya ketika perwira Israel yang dulu telah merenggut kesuciannya di penjara datang menemuinya dan meminta maaf padanya secara tiba-tiba. Persetan dengan ayahnya yang merupakan seorang pendeta Yahudi dan sangat m...