Bab 32 | Lepas Dengan Ikhlas

3K 245 84
                                    

Jantung Aisyah berdebar kala melihat wanita berhijab biru tadi tengah berbincang dengan seorang pria yang memakai overcoat hitam. Dia bersembunyi di balik tembok dan mengintai mereka diam-diam. Aisyah tidak dapat melihat siapa lelaki tinggi itu karena dia memunggunginya.

Setelah wanita berhijab biru itu berlalu. Aisyah memantapkan hatinya untuk menghampiri pria tadi. Gelisah serta penasaran mulai menyerang dadanya. Ia menyeret kedua kakinya dengan gontai hingga sampai tepat di dekat punggung pria misterius ini.

"Tuan, siapa kau sebenarnya? Kenapa kau menyuruh Bibi tadi untuk memberikan uang ini untukku?"

Suara tegas Aisyah membuat lelaki itu melebarkan matanya. Ia membeku di tempat. Lehernya seolah tertahan besi hingga tidak bisa digerakkan.

Aisyah menarik lengan lelaki itu saat dia hendak berlalu tanpa menjawab pertanyannya. Dia berhasil mendahului lelaki tadi dan menahan langkahnya. Netra hazelnya sontak membesar saat dia mendapati wajah orang yang sangat dikenalinya. Wajah seseorang yang sudah sangat lama tidak ia jumpai. Kedua alis Aisyah saling bertemu, matanya berbinar.

"Bert? Benarkah ini dirimu?"

"I--iya, Aisyah ... ini aku."

"Ja--jadi, apakah semua bantuan selama ini adalah pemberian darimu?" desak Aisyah.

Wajah bersih Bert mendadak pucat. Dia bingung harus menjawab apa pada Aisyah. Susah payah pria beriris hitam itu menelan saliva.

"Iya, kau benar dan aku melakukan semua ini atas tugas dari Letnan Aaron."

Aisyah tertegun. Kedua matanya mulai memanas kala nama Aaron bergulir dari bibir Bert.

"Di mana dia sekarang? Kenapa dia tidak mau menemuiku secara langsung? A--apakah dia masih memegang teguh sumpahnya untuk tidak menemuiku?"

Suara Aisyah terdengar sangat serak. Dadanya bergemuruh. Ada sedikit emosi dan luka yang terselip di hatinya.

"Jawab aku, Bert! Di mana Aaron?"

Bert tetap membisu dan bergeming saat Aisyah terus mendesaknya. Bahkan perempuan berjas putih itu mulai meluruhkan air mata sambil memukuli lengannya. Dia dapat merasakan kepedihan hati Aisyah dari sorot mata hazelnya yang memerah dan berair.

"Kenapa kau diam saja? Di mana dia, katakan padaku? Katakan padanya aku tidak menginginkan uang ini! Aku hanya ingin dia menemuiku sekali saja untuk melihat anaknya. Aku sudah melahirkan anaknya, Bert. Dia sudah besar. A--aku ingin Aaron bertemu dengan anaknya sekali saja. Ke--kenapa dia tidak ingin bertemu dengan an--anakn---"

Aisyah tidak sanggup lagi meneruskan ucapannya. Dia tergugu. Sungguh dadanya sangat sesak dan perih.

"Aisyah, tenanglah. Letnan Aaron ... dia---"

Bert membuang napas kasar. Sungguh berat bibirnya untuk mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi pada Aaron.

Aisyah mengerutkan kening. Rasa takut hinggap di dadanya. Ia mengikuti tatapan tajam Bert yang mengarah pada sebuah mobil sedan putih di ujung gang. Aisyah bergegas berlari meninggalkan Bert begitu saja untuk menghampiri mobil itu tanpa berkata apa pun lagi pada Bert.

Bert mengusap wajahnya dengan kasar diiringi decakan kesal pada dirinya sendiri yang tanpa sadar telah memberi Aisyah isyarat.

"Astaga! Bodoh sekali kau, Bert!"

Napas Aisyah terputus-putus sesampainya ia di depan mobil itu. Kedua kakinya berjalan gamang mendekati pintu dan dia menggedor-gedor jendela kaca hitam tersebut dengan sekuat tenaganya. Dapat dia lihat dengan samar seorang pria yang tengah duduk dalam mobil itu.

Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa ( Sudah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang