Aku ingin menemanimu melahirkan dan menggenggam tanganmu untuk memberimu semangat.
Aku akan di sampingmu saat kau berjuang melawan maut demi melahirkan anak kita.
Aku sangat mencintaimu, Aisyah.
Aisyah memejamkan matanya rapat-rapat saat perkataan Aaron waktu itu kembali terngiang. Dada Aisyah sangat perih mengingatnya. Satu tangannya mencengkeram tangan Noura dan satunya lagi mencengkeram tangan Fatimah dengan sangat erat. Peluh sudah membanjiri wajah dan sekujur tubuhnya. Dia mengangkang lebar sesuai dengan arahan dokter Abla padanya. Mulutnya membola, Aisyah susah payah mengatur embusan napasnya agar lebih tenang. Dia sudah beberapa kali mengejan dengan sekuat tenaganya. Aisyah meringis kala merasakan nyeri seperti terbakar pada jalan lahir.
"Aisyah, berhenti mengejan. Tahan dulu, aku sudah melihat kepalanya. Biarkan kepalanya keluar secara perlahan hingga sepenuhnya," titah dokter Abla. Dia menyuruhnya agar Aisyah terhindar dari robekan vagina dan perineum.
Noura dan Fatimah berdoa sebanyak-banyaknya. Mereka sangat was-was.
Aisyah berusaha untuk menenangkan hati dan pikirannya agar tidak gelisah. Hatinya menghangat saat lembut tangan Noura mengusapi puncak kepalanya.
Dokter Abla menajamkan tatapannya. Peluh membanjri wajah bundar dokter kandungan tersebut. Saat ia melihat kepala bayi sudah keluar dengan sempurna, dokter Abla menganjurkan Aisyah untuk mengejan kembali agar bisa mengeluarkan seluruh badan bayi.
"Kepalanya sudah keluar! Ayo, Aisyah! Kau pasti bisa!"
"EEEEEMMMMHHHH!" Aisyah mengatur embusan napasnya. Ia kembali menghela napas panjang, lalu mengejan dengan sekuat tenaganya. Aisyah harus kuat. "EEEEEUUUUMMMMMHHH!"
"EEEEEEAAA ... EAAAAA!"
Tangisan bayi terdengar sangat nyaring dan kuat menggema di ruangan persalinan itu.
"Alhamdulullah!"
Dokter Abla segera menggendong bayi merah berlumuran darah tersebut, lalu menangkupkannya di dada Aisyah agar dilakukan inisiasi menyusui dini.
"Selamat, Aisyah. Bayimu laki-laki." Doker Abla tersenyum hangat. "Suster akan membersihkannya terlebih dahulu, kau masih harus mengeluarkan plasenta dari perutmu."
"I--iya, Dok."
Aisyah mengangguk cepat. Rasa sakit serta lelah yang mendera seluruh raganya hilang kala ia dapat mencium wangi khas bayi bercampur amis darah dari anaknya. Ia mengecup singkat kepala anaknya yang lengket oleh darah. Dadanya bergemuruh, senyum haru mengembang di bibirnya saat dokter Abla mengambil alih bayi tersebut untuk dipotong tali pusarnya dan dibersihkan.
Perut Aisyah kembali berkontraksi saat ingin melepas plasenta dari rahim dan mengeluarkannya. Dalam waktu sepuluh menit, Aisyah berhasil mengeluarkan seluruh jaringan plasenta dari perutnya. Ia mengucap syukur sebanyak-banyaknya dalam hati.
Dokter Abla bergegas meraih jarum suntik untuk memberikan obat oksitosin guna mempertahankan kontraksi rahim dan meminimalkan perdarahan.
Noura menghambur memeluk Aisyah sambil terisak. Ia menciumi kening dan kedua pipi Aisyah dengan penuh haru. Begitu pun dengan Fatimah ikut merangkul Aisyah dalam dekapan dan menciuminya sebagai ucapan selamat dan rasa syukur.
"Selamat, Aisyah. Kau sudah menjadi seorang ibu!" seru Noura sangat antusias.
"Bayimu sangat tampan sekali dan menggemaskan. Aku sungguh tidak sabar ingin menggendongnya."
Fatimah tersenyum sumeringah. Ia mengambil beberapa helai tisu dari nakas, lalu menyeka butiran keringat yang mengalir di sekitar pelipis Aisyah.
Setelah lima belas menit berlalu, dokter Abla kembali menemui Aisyah dengan bayi mungil dalam gendongnnya. Anak Aisyah sudah dibersihkan dan dibungkus kain lembut berwarna biru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa ( Sudah Terbit )
RomanceBagai disambar petir, Aisyah tidak percaya ketika perwira Israel yang dulu telah merenggut kesuciannya di penjara datang menemuinya dan meminta maaf padanya secara tiba-tiba. Persetan dengan ayahnya yang merupakan seorang pendeta Yahudi dan sangat m...