Bab 17 | Aisyah ... Aisyah

2.5K 218 104
                                    

"Aku pergi."

Sepasang netra cokelat terang Letnan Aaron berbinar-binar. Lengkungan di bibirnya terkesan sangat tulus. Tidak pernah hatinya berbunga-bunga seperti ini. Kini Aisyah dapat dipandang dengan nyata di depan matanya. Aaron tetap bersyukur meskipun Aisyah tetap setia dengan wajah datar dan tatapan dingin.

"Kau tidak perlu membereskan semua ini. Aku akan mengerjakannya sepulang dinas nanti. Kau beristirahat sajalah di kamar. Kuharap kau akan merasa nyaman."

Aisyah tetap bergeming di kursi sambil meremas erat ujung kerudung hitam panjangnya yang menjuntai menutupi dada. Dia melempar pandang ke arah pantri yang tampak semerawut dipenuhi berbagai bahan pangan sisa Aaron memasak tadi. Wajan, mangkuk dan alat masak lainnya pun masih menumpuk di wastafel.

"Aku sudah sangat terlambat. Sampai jumpa nanti, Aisyah."

Helaan napas panjang berembus dari bibir Aaron. Ia tersenyum tipis, lantas memutar badan dan bergegas pergi. Bagaimanapun dia harus sabar dan menahan emosinya dalam menghadapi sikap Aisyah. Perempuan itu sama sekali tak menoleh ke arahnya dan tidak menyahut.

"Pergi saja."

Aisyah berdecak. Kedua netra hazelnya mengintai punggung lebar Aaron yang menjauh sangat cepat dari pandangan. Dia berdiri seraya menghela napas pelan. Ini masih terasa seperti mimpi buruk baginya. Bagaimana mungkin dia bisa tinggal satu atap dengan tentara bejad yang bahkan sangat tidak ingin Aisyah lihat lagi di seumur hidupnya. Terlebih lagi mereka bukan makhram, Aisyah sungguh merasa tidak nyaman.

Aisyah menahan napas. Gelenyar asing menjalar dalam dadanya kala teringat bagaimana tadi dirinya disuapi oleh Aaron. Bahkan lezatnya sabich buatan pria itu pun masih menempel di lidah. Dia sungguh tidak menyangka jika Aaron sangat pandai mengolah makanan hingga selezat itu. Sesaat matanya mengerjap, Aisyah menepis jauh-jauh lamunan tentang Aaron. Bagaimanapun pria itu tetap bejad dan seorang pembunuh yang kejam baginya.

Pandangannya mengitari dapur Aaron yang sangat luas. Kaki Aisyah berayun lamban menuju pantri. Di sana terpajang berbagai macam bahan makanan kosher atau halal versi penganut Yudaisme. Terdapat bumbu-bumbu, botol minyak goreng, botol minyak zaitun, keju, roti, sebotol saus, sebotol kecap dan bahan pangan lainnya yang semuanya berlabel U dalam lingkaran.

Aisyah pernah membaca sebuah artikel yang membahas tentang seorang penganut agama Yahudi Ortodoks. Seperti produk halal Islam, setiap produk makanan kosher juga diberi label OU atau huruf U dalam lingkaran.

Lagi-lagi Aisyah mendesah. Dia tidak bisa membiarkan semua bahan-bahan makanan itu berantakan seperti ini. Tangannya bergegas memasukkan satu demi satu botol-botol bertuliskan bahasa Ibrani tersebut dalam lemari. Aisyah menyusunnya dengan rapi.

****

Siang itu mentari seolah berada tepat di atas kepala. Panas menyengat tubuh para personel tentara Israel yang tengah berbaris di lapangan. Kulit wajah tegas mereka telah dibanjiri peluh. Tatapan tajam semua pasang mata terarah pada sosok tinggi kekar yang berdiri tegap paling depan. Mereka sedikit mengerenyit menatap wajah sang letnan yang dipenuhi garis-garis panjang kehitaman seperti bekas cakaran yang telah mengering.

Wajah Letnan Aaron terlihat bersinar diterpa cahaya mentari. Bulir-bulir peluh sebesar biji jagung berjatuhan dari pelipis hingga menuruni rahang tegasnya. Sepasang mata elangnya menajam, balas menatap satu per satu wajah anak buahnya dengan serius. Dia menyampaikan arahan demi arahan dengan sangat rinci dan tegas.

"Kita harus mengirim lebih banyak personel ke Tepi Barat. Akhir-akhir ini jumlah para demonstran di perbatasan semakin meningkat dan mereka semakin menggila saja." Aaron mendesis. "Sepertinya kita harus menyiapkan lebih banyak lagi gas air mata untuk menghentikan aksi mereka. Buat mereka jera. Kita kirim pasukan khusus di sekitar pagar pembatas."

Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa ( Sudah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang