Rembulan ....Bolehkah aku memanggilmu rembulan, Aisyah?
Sepasang mata Aisyah membola. Genggaman kedua tangannya pada secarik surat dari Aaron semakin menguat. Bibir penuhnya menipis bahkan nyaris tak terlihat.
"Astagfirullah. Dia sudah gila."
Desahan berat bergulir dari bibir Aisyah. Kedua ujung alis rapinya saling bertemu saat netra hazelnya kembali fokus pada barisan aksara bertinta hitam itu. Aisyah menggeser lilin yang ia letakkan di meja lebih dekat agar dapat membacanya lebih jelas.
Aku menemukan cahaya rembulan di matamu.
Indah, besar dan berbinar.Pantas saja malam-malamku di Yerusalem selalu diselimuti pekat semenjak bertemu denganmu. Rupanya rembulanku masih bersinar di Tepi Gaza.
Tetapi tidak lama lagi rembulan itu akan menyinari malam-malamku di Yerusalem, di Israel.
Jika kau berangapan aku sedang merayumu maka kau salah. Ck! Aku juga heran kenapa jari-jariku bisa menulis kata-kata ini saat membayangkan wajahmu.
Kau menyebut tanah itu Al Quds dan aku menyebutnya Yerusalem.
Aku sama sekali tidak peduli siapa yang akan memenangkan tanah itu, yang pasti tanah itu milik YHWH dan kau adalah milikku.
Kau pasti sangat membenciku. Tetapi kebencianmu tidak akan bisa menghentikan langkahku. Bagaimanapun aku akan tetap menjalankan tugas negara sebagai seorang Letnan.
Kuharap kau mau mengerti, Aisyah.
Aku sama sekali tidak menyesali takdir Tuhan yang telah mempertemukan kita dengan cara yang buruk seperti ini. Aku justru berterima kasih pada YHWH yang telah mengirimmu dalam hidupku, mengobati luka hatiku hingga aku tak mampu berpaling darimu.
Ini gila. Aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa sangat mencintaimu sedalam ini. Mungkin juga karena kau sedang mengandung anakku, darah dagingku.
Kau tidak bisa mengelak bahwa janin yang ada dalam perutmu adalah anakku. Dalam darahnya mengalir darah seorang Yahudi dan aku sangat berharap kelak dia akan menjadi seorang Perwira Israel sepertiku.
Dada Aisyah bergetar membaca barisan kalimat yang Aaron tulis barusan. Ada benda runcing yang tiba-tiba menghunjam hatinya, perih hingga ke tulang rusuk. Aisyah mengatur embusan napas saat janin dalam perutnya bergolak. Bayi itu seolah sedang memberontak.
"Anakku akan terlahir sebagai seorang Muslim yang akan membela Palestina."
Bibir Aisyah bergetar. Butiran kristal bening yang semula bergumul di pelupuk matanya tumpah, berarak-arak menuruni pipi hingga berjatuhan membasahi surat dari Aaron yang masih erat dalam genggaman. Aisyah lanjut membacanya dengan tatapan buram.
Rasanya sangat tidak sabar untuk menyambut hari itu. Di mana kita akan bergandengan tangan dan menggendong anak kita bersama-sama. Melihatnya merengek, bermain dan tertawa. Bukankah dia akan sangat menggemaskan, Aisyah?
Aku ingin memulai kehidupan baru denganmu dan anak kita.
"Dalam mimpimu! Aku tidak akan sudi!"
Kali ini Aisyah meremas surat itu hingga menjadi gulungan kecil, lalu membuangnya ke sembarang arah meskipun ia belum selesai membacanya. Bahu Aisyah berguncang, tak sanggup lagi meredam emosi yang ingin membuncah. Aisyah meringis. Dia terisak tanpa suara sambil meremas seprei biru yang didudukinya erat-erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa ( Sudah Terbit )
RomanceBagai disambar petir, Aisyah tidak percaya ketika perwira Israel yang dulu telah merenggut kesuciannya di penjara datang menemuinya dan meminta maaf padanya secara tiba-tiba. Persetan dengan ayahnya yang merupakan seorang pendeta Yahudi dan sangat m...