Rasa trauma yang teramat dalam kembali menyerang hati dan pikiran Aisyah. Wajah pria asing yang beberapa hari lalu ia temui di pasar dan bayang-bayang wajah tentara laknat itu terus berputar-putar bagaikan sebuah film yang sangat mengerikan baginya.Wajah putihnya bercahaya, menetes sisa-sisa air wudhu di sekitar pelipis dan pipinya, bercampur dengan air mata yang mengalir deras dari sepasang netra hazelnya. Rahang Aisyah mengeras, bibinya bergetar hebat dan dadanya sangat sesak.
Seusai bermunazat dengan Sang Khaliq, Aisyah bergegas melipat sajadahnya dan sedikit berlari meninggalkan kamarnya yang sangat sempit. Ia meraih sebuah jas putih yang menggantung di ruang tamu. Mulai hari ini Aisyah akan memakainya.
Hari ini adalah hari Jumat, di mana ratusan warga Gaza selalu membanjiri Tepi Barat untuk meneriakkan hak-hak atas Palestina. Di saat itulah Aisyah dan teman-temannya ikut berdemo dengan para demonstran Great Retrun March lainnya, lalu ditangkap.
"Aku harus bangkit. Aku tidak boleh menyerah."
Aisyah berjalan gontai dengan penuh kepastian. Ia sudah mengenakan jas putih dan menggendong tas kecil berisikan alat-alat medis. Kakinya terpaksa terhenti saat Rauda memanggilnya dari arah dapur.
"Aisyah, kau mau ke mana?"
"Aku akan pergi ke Tepi Barat bersama Noura dan Tim Medis lainnya, Bi."
"Demi Allah, Aisyah. Kau sedang hamil muda, aku tidak ingin hal buruk menimpamu lagi."
"Kau tidak usah khawatir, Bi. Aku akan baik-baik saja. Tidak ada gunanya aku terus menangis di sini, sedangkan mereka tengah memeras darah berjuang untuk Palestina. Aku ingin menolong mereka semampuku. Terus meratapi nasib tidak akan pernah bisa mengembalikan kesucianku! Kumohon izinkan aku pergi, Bi."
Dada Aisyah semakin sesak. Ia menghapus jejak air mata di pipinya menggunakan punggung tangannya yang putih.
Sebulir kristal bening lolos dari sudut mata Rouda. Wanita ringkih paruh baya itu menghela napas panjang. Ia mengunci sepasang netra hazel keponakannya dengan tatapan sendu.
"Aku tidak bisa mencegahmu jika hatimu sudah bertekat seperti itu. Pergilah dengan menyebut nama Allah. Berjuanglah, Sayang. Aku menitipkanmu dan janin dalam kandunganmu pada Allah."
"Alhamdulillah. Kalau begitu Aisyah pergi dulu, Bi. Allah akan selalu bersama kita, Aisyah tidak takut."
Bibir Aisyah merekah, rasa haru memenuhi dadanya. Ia menciumi kedua pipi Rauda dan memeluknya erat sebelum benar-benar meninggalkan istana kecil mereka yang sangat jauh dari kata layak untuk dihuni.
Asiyah berjalan tenang menapaki jalanan tanah yang menurun. Rumah-rumah terpal beratap seng usang itu berjajar di perkampungan yang sangat kumuh, melewati gang-gang sempit di Beit Lahiya, Utara Gaza.
****
"Benar-benar keras kepala."
Aaron menggeleng. Ia mencabut sebuah alat yang semula menyumpal kedua telinganya. Aaron baru saja mencuri obrolan Aisyah dengan Rouda.
Semenjak seminggu lalu, Aaron memang sudah mengintai Aisyah dari kejauhan rumahnya. Ketika Aaron bertemu dengan Aisyah, Rouda dan Salim di pasar gratis Indonesia kala itu, ia sengaja menyuruh anak buahnya untuk memasang alat penyadap suara di beberapa sudut rumah Aisyah.
Bibir tipis kemerahannya mengembang sempurna. Sebagai seorang letnan yang sudah sangat terlatih, tentunya setiap usahanya tidak akan pernah gagal. Ia sudah mencuri banyak informasi tentang Aisyah dan apa yang ingin Aisyah lakukan.
Hal yang membuat hatinya berbunga adalah kabar mengenai Aisyah yang tengah hamil muda. Perempuan itu sungguh telah mengandung benih yang Aaron titipkan secara paksa di penjara dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa ( Sudah Terbit )
RomanceBagai disambar petir, Aisyah tidak percaya ketika perwira Israel yang dulu telah merenggut kesuciannya di penjara datang menemuinya dan meminta maaf padanya secara tiba-tiba. Persetan dengan ayahnya yang merupakan seorang pendeta Yahudi dan sangat m...