"Aisyah ...."
Aaron mematut dirinya dalam cermin. Pria tinggi itu bertelanjang dada. Tepat di bagian otot-otot dadanya yang menyembul terdapat garis vertikal merah yang memanjang bekas goresan pisau Aisyah kemarin malam.
Bibir tipis Aaron tak henti-hentinya mengembang. Hatinya berbunga saat menatap tangan kanannya yang mengapung di udara. Bekas gigitan kencang gigi-gigi Aisyah di kulit tangannya masih kentara. Bahkan Aaron masih merasakan lembutnya bibir Aisyah menempel di sana.
"Kasar sekali, tapi aku suka." Aaron terkekeh pelan.
"Rupanya Letnan kami benar-benar sudah tidak waras."
Suara serak itu membuat Aaron menipiskan bibirnya. Tubuhnya berbalik, lalu mendesis saat tatapannya beradu dengan sepasang iris hitam milik Bert.
Pria kurus tinggi itu tengah duduk di atas ranjang king size milik Aaron dengan wajah sumeringah.
"Sejak kapan kau berada di sini?"
"Sudah lama sekali semenjak kau senyum-senyum dan bergumam sendiri. Aisyah ...," ledeknya dengan nada manja yang dibuat-buat. Bahkan bibir Bert sengaja dimaju-majukan.
Bert terbahak melihat wajah putih Aaron perlahan memerah dengan tatapan berang. Namun sedetik kemudian, pria itu meringis saat sebuah handuk tebal mendarat di wajahnya. Dia gelagapan dan segera menarik handuk itu dari wajahnya, lalu melemparnya ke sembarang arah dengan kasar.
"Sial kau, Letnan!"
Kali ini justru Aaron yang terkekeh-kekeh. Saat ini Aaron hanya mengenakan celana pendek. Dia baru saja selesai mandi dan keramas. Bulir-bulir air bahkan masih menetes dari wajahnya, turun mengaliri dadanya yang berotot hingga perutnya yang berkotak enam dan menyembul keras. Aaron berjalan tegas menuju lemari baju di sudut kamar.
"Kau sendiri saja? Di mana Abey?" tanyanya tanpa menoleh. Tangan kokohnya sibuk memilih baju apa yang akan ia pakai.
"Kau seperti tidak mengenalnya saja. Dia sedang berburu makanan dulu, baru akan menyusul ke sini."
Aaron menggeleng. Rupanya sahabatnya yang satu itu tidak pernah berubah.
"Dua hari lagi hari raya Yom Kippur, apa kau akan pergi ke Tel Aviv?"
Bert mengangkat bahu. Wajah bersihnya terlihat sangat tenang.
"Sepertinya tidak. Sayang sekali jika harus melewatkan hari libur tanpa pergi ke penjara. Kudengar banyak tawanan gadis Gaza yang baru di sana dan cantik-cantik. Sepertinya akan sangat menyenangkan. Kau sampaikan saja salamku pada Paman Erez."
"Kau ini tidak pernah berubah. Sampai kapan kau akan terus bermain-main dengan wanita? Bertobatlah sebelum YHWH menghukummu."
"Ck! Bukankah kita memang pendosa ulung? Sudah berapa banyak nyawa yang telah kita habisi, Letnan?" Bert terkekeh. "Hidup itu hanya sekali, bersenang-senang sajalah dulu, baru bertobat."
Desahan berat terlontar dari bibir tipis Aaron. Dia menggeleng pelan, sangat malas merespon karena percuma saja dan tidak akan ada ujungnya. Tiba-tiba hatinya mencelus saat teringat akan kata-kata sarkas Asiyah kemarin malam.
Aaron memang sudah banyak membunuh. Entah sudah berapa nyawa yang telah dihabisinya dalam oeperasi militer bersama pasukan Unit Mistaravim.
Ibunya tewas terkena ledakan bom bunuh diri yang terjadi di stasiun bis Tel Aviv beberapa tahun silam. Bom bunuh diri itu diduga dilakukan oleh seorang pemuda Palestina.
Hal itu yang memicu Aaron dan ayahnya---Erez Ben Elyahu memiliki dendam dan ingin membunuh warga Gaza sebanyak-banyaknya, menghancurkan Gaza dan mencuri tanah mereka untuk negara. Tetapi sekarang hatinya dilema karena semua itu membuat dirinya sangat dibenci oleh Aisyah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa ( Sudah Terbit )
RomanceBagai disambar petir, Aisyah tidak percaya ketika perwira Israel yang dulu telah merenggut kesuciannya di penjara datang menemuinya dan meminta maaf padanya secara tiba-tiba. Persetan dengan ayahnya yang merupakan seorang pendeta Yahudi dan sangat m...