Bab 22 | Perbatasan Rafah dan Pengakuan Aisyah

2.2K 229 53
                                    


"Pintunya dikunci."

"Kita dobrak saja."

Suara lelaki asing yang berasal dari luar dapur membuat Aisyah melebarkan mata. Punggungnya sontak menegang. Ia menyeret kedua kakinya berjalan mundur dengan tergesa-gesa. Tanpa sengaja sikunya menyenggol cangkir beling yang terletak di meja pantri hingga suara kaca menghantam lantai pun menggema nyaring.

"Sudah kuduga, pasti ada orang di dalam sana!"

"Cepat dobrak saja pintunya!"

Aisyah membekap mulut. Ia menggeleng pelan seraya sedikit berlari sembari memegangi perut buncitnya. Secepat kilat, Aisyah menekan sebuah tombol pada tembok putih, sejatinya itu adalah pintu rahasia yang akan menghubungkannya dengan ruang bawah tanah. Setelah pintu tembok terbuka lebar, Aisyah segera memasukinya dan menekan kembali tombol kecil di sana. Serta-merta pintu rahasia itu pun tertutup secara otomatis.

Napas Asiyah berembus liar. Ia berhenti sejenak pada undakan tangga sambil mengelus dada. Degup jantungnya meletup-letup. Peluh dingin mulai mengucur dari pelipisnya. Seharusnya tadi dia tidak pergi ke dapur untuk mengambil minum.

"Ya Allah, siapa mereka? Aku berlindung kepada-Mu."

Pintu dapur berdebum nyaring setelah berhasil didobrak dari luar. Kedua lelaki berjas hitam mengedarkan pandangan ke berbagai arah. Wajah garang mereka sudah dibanjiri keringat. Keduanya berpencar di sekitar dapur berukuran luas itu.

"Tidak ada siapa-siapa di tempat ini."

"Aku yakin, dia pasti bersembuyi. Cari lagi sampai dapat!"

Serpihan gelas kaca yang berserak di lantai mencuri atensi mereka. Seringaian mengerikan sontak melumuri wajah keduanya. Pria berkepala plontos melebarkan senyumnya, lalu meludah ke sembarang arah.

"Aku menemukan sebuah lorong. Lihatlah, ada sebuah gudang di sini."

Lelaki berbadan kekar itu pun segera berlari menyusul temannya yang sudah berdiri  tepat di depan gudang. Tangannya memukuli pintu gudang tersebut dengan sangat keras.

"Rupanya Tikus Kecil ini ingin bermain-main dengan kita, huh!"

Kekehan renyah yang menggema dari balik tembok terdengar sangat mengerikan bagi Aisyah. Kedua lututnya gemetar, ia bergegas menuruni anak tangga dengan tergopoh-gopoh. Sesampainya di dasar tangga, Aisyah menarik kenop pintu kamarnya dan segera menguncinya dari dalam.

Aisyah mengatur embusan napasnya yang memburu. Dadanya naik turun. Ia meraih ponsel yang teronggok di atas kasur, lalu bergegas mengeser layar kacanya untuk mencari kontak Bert dan Aaron.

Rasa takut menyergap dada dan pikirannya. Bert dan Aaron sama-sama tidak menjawab panggilan. Aisyah mengembuskan napas berat, dia tidak boleh menyerah. Tangannya terus menekan tombol hijau, mencoba menelepon Bert berulang kali.

"Ya Allah. Kumohon selamatkan kami."

Aisyah terisak tanpa suara. Wajahnya sudah dipenuhi air mata, ia mengusapnya dengan pelan. Dadanya sungguh perih, mungkinkah malam ini ia dan anaknya akan binasa. Aisyah menyedot cairan bening yang memenuhi rongga hidungnya, lalu menangkup wajah seraya berdoa sebanyak-banyaknya pada Sang Khalik agar dilindungi.

****

Seorang lelaki berjaket kulit hitam berlari terseok-seok menerobos kediaman Aaron. Ia sungguh tercengang melihat pintu utama telah terbuka lebar. Ia yakin kekacauan pasti sudah terjadi. Jantungnya berdebar-berdebar, berharap semoga saja dia tidak terlambat. Sebuah revolver silver digenggamnya dengan sangat erat. Sepasang netra hitamnya menajam, berkelana ke berbagai arah di sekitar ruang tamu dan kini ia sudah berada di ruang tengah. Kedua matanya semakin membesar saat menemukan pintu dapur Aaron sudah terbentang.

Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa ( Sudah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang