Bab 9 | Sepucuk Surat dari Letnan Aaron

2.8K 289 202
                                    

Adakah yang menunggu cerita ini? Atau sudah pada bubar?😆

Letnan Aaron ngasih surat apa untuk Aisyah, ya?

Surat tanah?

Surat tagihan utang?

2266 k. Pelan-pelan bacanya biar enggak keselek. 😂

Sengaja panjang di bab ini, karena aku mau izin hiatus enggak akan update cerita ini entah sampai kapan. Aku ada kolab proyek lain sama teman.

Selamat membaca dan terima kasih 《 ^ _ ^ 》

*****

Setelah seharian menghabiskan waktu untuk berdoa dan merenungi dosanya di sinagog, kini Aaron sudah berada di kediaman orang tuanya. Rumah tingkat tiga itu berada di kawasan elit, di pusat kota Tel Aviv. Pelita-pelita di setiap sudut rumahnya sudah dinyalakan, berpendar menghiasi perayaan malam Yom Kippur yang telah tiba.

Kippah putih masih setia menutupi sebagian puncak kepalanya. Aaron menyeret kedua kaki panjangnya dengan tegas memasuki ruang makan. Tenggorokannya sudah sangat kering setelah seharian menahan dahaga. Perutnya pun sudah keroncongan minta diisi.

Sepasang netra cokelat terangnya berbinar menatap meja makan panjang yang sudah dipenuhi hidangan prapuasa yang mereka sebut, seudah ha mafsekat. Knish, kugel, ayam lemak dan gefilte fish, charoset serta hidangan lezat lainnya terlihat masih mengepul dan menggugah selera.

Aaron mengambil duduk di salah satu kursi. Air liur sudah bergumul di mulutnya sejak tadi. Pria itu menyecap lidah, tak sabar ingin segera melahap hidangan beraroma lezat di depannya.

"Rupanya kau sudah sangat lapar, hm?"

"Iya, Ayah. Ayo, makanlah bersamaku."

Aaron mengulas senyum tipis. Seusai berdoa, Aaron langsung memasukkan sesendok charoset ke mulutnya. Ia mengunyahnya perlahan, menyecap rasa manis dan segar dari pasta berwarna gelap yang berbahan dasar buah-buahan dan kacang-kacangan. Itu adalah makanan kesuakaan Aaron sejak kecil.

Lelaki paruh baya itu melepas tallit gadol----selendang doa yang semula tersampir di pundaknya. Sorot matanya terlihat tajam dengan bibir tipis yang kaku. Bulu-bulu hitam bercampur putih memenuhi rahang dan dagunya. Peyot di kedua sisi depan telinganya pun dibiarkan memanjang melebihi rahang dan dagu. Erez melucuti topi fedora hitam yang menutupi puncak kepalanya, lalu meletakkannya di atas meja. Kemudian dia mendaratkan bokongnya di kursi yang berseberangan dengan Aaron.

"Malam ini kau akan tidur di sini, bukan? Besok siang kita bisa berangkat dan berdoa bersama di Tembok Ratapan."

"Maaf, Ayah. Aku sungguh tidak bisa. Besok siang aku harus menghadiri rapat internal dengan para pimpinan IDF, aku harus berdoa lebih awal. Lain waktu saja aku menginap di sini."

Napas panjang berembus dari bibir tipis Erez. Rabi Yahudi itu melempar tatapan tajam pada putra semata wayangnya. Sepasang mata elangnya menyipit, mengamati raut wajah Aaron yang menurutnya sangat berbeda.

"Akhir-akhir ini aku sering mimpi buruk."

Aaron berhenti mengunyah. Dia mendongak, balas menatap mata tajam sang ayah dengan serius.

"Itu hanya bunga tidur, jangan dipikirkan. Mungkin Ayah terlalu lelah dan kuharap setelah ini kau jangan berdoa hingga larut malam."

"Tetapi mimpiku selalu menjadi firasat dan pasti akan terjadi."

Aaron tertegun. Matanya berkedip sekali. Dia jadi teringat akan ucapan Erez tentang mimpi buruknya sebelum ibunya---Ayala tewas dan kematian Shirel yang tewas bunuh diri.

Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa ( Sudah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang