Bab 16 | Di Mana Aisyah?

2.5K 233 80
                                    

Jerit tangis warga Gaza dan anak-anak memecah keheningan malam. Ledakan bom serta deru mesin pesawat tempur Israel tidak lagi terdengar. Kabut hitam mesiu tidak lagi membumbung, yang tersisa hanya bau gosong dari tubuh-tubuh tak berdosa serta amis darah yang semakin menyengat tertiup angin.

Beberapa relawan pria, para jurnalis dan paramedis berhamburan. Mereka berpencar menghampiri reruntuhan rumah warga untuk mengevakuasi para korban. Sirene ambulans dan deru mesin mobil-mobil relawan kini mulai terdengar gaduh berdatangan.

Hati Arif berdenyut perih. Tangan kokohnya sangat cekatan mengangkat puing demi puing bangunan yang menimbun seorang balita sekitar umur dua tahun. Terlihat oleh netra hitamnya sebuah tangan mungil berlumuran darah terkulai lemah di antara tumpukan batu besar. Kepala mungil bocah lelaki itu menyembul di antara bingkai jendela yang kacanya sudah retak, memebelah kepala hingga hampir seluruh permukaan wajah mungilnya bernoda merah dan bercucuran.

"Allahu Akbar."

Arif memejamkan mata sejenak, dia meringis sambil merapal doa sebanyak-banyaknya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika semua kekejian ini terjadi di Indonesia. Sanggupkah warga muslim Indonesia menjalani ujian berat seperti warga Gaza di Palestina?

Arif lantas segera mengambil bingkai jendela kaca dari kepala anak itu dengan sangat hati-hati. Kondisi bocah malang itu sangat mengenaskan. Kepalanya pecah seperti sebuah semangka, merekah merah dan menganga. Sebulir air mata lolos dari ujung mata Arif saat ia berhasil melepaskan kepala anak itu dari bingkai jendela. Kini tangannya berlumuran darah.

Riuh rendah suara takbir serta tangisan warga Gaza menggema. Para warga yang selamat ikut membantu relawan membongkar reruntuhan bangunan untuk mencari anggota keluarganya yang tertimbun.

Han dan para jurnalis dari berbagai negara sibuk meliput kejadian naas berikut untuk dikabarkan pada dunia. Meskipun dalam pekat malam, mereka berharap setiap berita yang disebarkan akan membuat hati dan mata kaum muslimin di seluruh dunia terbuka untuk mengulurkan bantuannya pada Palestina.

Di sisi lain Noura sedang berusaha menenangkan Rahaf. Perempuan berjas putih itu ikut berjongkok di belakang Rahaf yang kini bersimpuh di tanah, di sekitar bangkai rumah Salim. Bening hangat berjatuhan banyak menuruni kedua pipinya yang tirus. Dadanya sungguh perih.

Jasad Salim dan Rauda telah berhasil dievakuasi. Pasangan suami istri itu ditemukan dalam keadaan gosong, asap mengepul dari tubuh keduanya yang juga berlumuran darah.

"Di mana Aisyah?"

Entah sudah berapa kali pertanyaan itu bergulir dari bibir Rahaf. Suaranya sudah sangat serak. Rahaf berdiri, memutar badan menghadap Noura. Dia menyeka sisa air mata di pipinya nenggunakan punggung tangan. Kedua kakinya menapak di antara kepingan seng usang dan serpihan material gubuk milik Salim yang telah rata dengan tanah.

"Jika Aiysah meninggal, tentunya kita sudah menemukan jasadnya dari tadi." Rahaf menahan napas. Dadanya sungguh perih.

"Aku sependapat denganmu. Kita berdoa saja. Aku yakin, Aisyah pasti selamat dari ledakan ini. Atau mungkin dia ...." Noura menelan ludah. "Aisyah diculik."

Noura dan Rahaf saling mengunci pandang dengan tatapan tajam. Keduanya memikirkan hal yang serupa.

"Selama ini Letnan Aaron selalu menemui Aisyah, tidak menutup kemungkinan jika pria itu yang telah membawanya."

"Letnan Aaron."

Kepalan kedua tangan Rahaf semakin menguat. Sesak di dadanya semakin meradang saja. Entah hal buruk apa yang akan menimpa Aisyah jika memang tentara itu yang telah membawanya. Rahaf merasa sangat tidak berguna, padahal dia sudah berjanji untuk selalu melindungi Aisyah.

Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa ( Sudah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang