"Benar-benar wanita keras kepala." Aaron menggeleng. "Tak bisakah kau berdiam diri saja di rumah tanpa harus membahayakan nyawamu dan nyawa anakku di sini?"
Mulut Aisyah membulat. Sepasang iris hazelnya yang sendu mengunci tatapan berang Aaron yang kini berdiri tegap di depannya. Kedua ujung alisnya saling bertemu. Dia sungguh tidak mengerti dengan isi hati dan kepala pria itu.
Aisyah sama sekali tidak menjawab. Lidahnya masih membelit. Dia memutus kontak mata dengan Aaron dan segera beringsut, lalu menjatuhkan lututnya ke tanah di samping tubuh Adam dan Khaled. Isak tangisnya sontak pecah dengan bahu yang berguncang.
Aisyah mengelus dadanya. Hatinya pedih melihat wajah pasi dua bocah kecil yang selama ini selalu menghiburnya di tenda pengungsian. Aisyah sudah menganggap mereka seperti anak kandungnya sendiri. Relawan medis itu segera memeriksa urat nadi Adam dan Khaled secara bergilir. Aisyah sontak memejamkan matanya. Kedua bocah tak berdosa itu telah gugur.
Khaled dan Adam terbujur kaku dengan senyuman kecil yang menghiasi bibir keduanya. Darah segar masih mengucur dari bagian tubuh yang berlubang, memerahi baju lusuh yang membalut tubuh mungil mereka hingga menggenang di tanah. Khaled tertembak di bagian dada kirinya, sementara Adam tertembak di bagian perutnya.
"Bibi, aku ingin ikut bersama kalian ke Jenin."
Entah sudah berapa kali bocah lelaki itu merengek pada Aisyah. Kedua tangan mungilnya menarik-narik ujung jas putih yang Aisyah pakai.
"Tidak, Adam. Kalian diam saja di tenda dan doakan kami. Di sana akan sangat berbahaya. Kalian tunggu saja di sini. Aku tidak ingin hal buruk menimpa kalian."
"Bibi saja membawa bayi dalam perutmu ke Jenin! Kenapa aku tidak boleh? Bahkan bayimu belum bisa terlihat."
Aisyah tersenyum manis melihat Adam mengerucutkan bibir mungilnya. Dia mengusap rambut cokelat adam dengan lembut. Hati Asiyah menghangat saat sepasang netra mereka saling beradu pandang.
Bocah lelaki itu menyipit-nyipitkan matanya sambil berkacak pinggang.
"Bayiku akan aman karena dia ada dalam peruku. Itu sebabnya aku tidak perlu khawatir. Adam ..., kali ini kumohon menurutlah. Kami akan segera kembali. Tinggallah di sini dengan anak-anak yang lain."
"Tidak, Bibi! Kata Ayah, aku tidak boleh takut pada apa pun kecuali pada Allah. Ayah bilang, aku harus kuat agar saat aku besar nanti bisa seperti Ayah. Aku ingin menjadi seorang Komandan Hamas yang akan menghabisi para Penjajah itu!"
Aisyah tertegun melihat sepasang netra Adam berbinar-binar. Dilihatnya Adam berlari kecil mengambil sebuah plastik yang sudah dipenuhi batu dan ketapel.
"Lihatlah, aku sudah mengumpulkan batu-batu ini! Aku pasti bisa mengalahkan mereka, Bi!"
Senyuman yang menempel di bibir mungil Adam begitu lebar. Dia tampak sangat bersemangat sekali. Hati Asiyah bergetar karenanya. Para orang tua di Gaza memang selalu mengajari anak-anaknya untuk berjihad sedari mereka kecil.
Bahu Aisyah berguncang. Dia tergugu, dadanya sangat sesak. Perjuangan bocah lelaki itu sudah selesai sampai di sini. Adam telah syahid.
"Biadab!"
Suara Aisyah bergetar. Ia melempar tatapan berang pada Aaron. Perempuan hamil itu berdiri dan bergegas menyeret kedua kakinya yang sangat lunglai. Kedua tangannya yang berlumuran darah Khaled dan Adam mengapung di udara. Tangan Aisyah bergetar meluapkan emosi yang membuncah dalam dadanya. Cairan kental merah menetes-netes saat Asiyah mengayunkan kakinya lebih gontai menghampiri Aaron.
"Ini ...! Da--darrah ini! Bayangkan jika darah ini adalah darah anakmu!"
Aaron melebarkan mata elanganya. Ia tersentak saat Aisyah tiba-tiba melumuri seragam perwira kebanggaannya dengan darah. Rahangnya sontak mengeras. Bahkan pegangannya pada pelatuk senapan serbu Tavor di tangannya semakin menguat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa ( Sudah Terbit )
RomanceBagai disambar petir, Aisyah tidak percaya ketika perwira Israel yang dulu telah merenggut kesuciannya di penjara datang menemuinya dan meminta maaf padanya secara tiba-tiba. Persetan dengan ayahnya yang merupakan seorang pendeta Yahudi dan sangat m...