Malam itu Gaza kembali memanas. Gaza sedang dilumpuhkan. Ledakan demi ledakan dahsyat terdengar sangat mengerikan menjalar begitu cepat menusuk gendang telinga. Disusul bau gas beracun kini mulai terendus membuat dada Aisyah dan siapa pun yang menciumnya menjadi sesak.Perempuan itu terbatuk-batuk. Dia meringkuk di pojok kasur sambil memeluk Mushaf di dadanya. Bahunya berguncang hebat diiringi bening air mata yang berjatuhan bebas dari netra hazel sendu itu. Aisyah tidak beranjak karena tidak ada lagi tempat bagi mereka untuk bersembunyi, kecuali meminta perlindungan dari Sang Khaliq dan berserah diri menjemput syahid.
Malam-malam di Gaza kemarin sangatlah damai. Tetapi malam ini para penzalim itu kembali mengamuk, menciptakan mimpi buruk bagi warga Gaza yang seharusnya tengah terlelap melepas penat seusai seharian bekerja.
Aisyah terisak, pilu menyergap hatinya. Dia sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Seperti ledakan dulu yang telah merenggut semua anggota keluarganya.
Salim dan Rauda bersimpuh di ruang tengah. Wajah keduanya sudah banjir air mata bercampur keringat dingin yang mengucur deras dari pelipis. Nyala api kecil dari lilin yang diletakkan di atas meja seketika padam tertiup angin.
"A--apa kita akan mati malam ini?"
Suara Rauda teredam desau angin yang berembus kencang. Bau gosong mulai menyeruak menembus lubang hidungnya. Dentingan nyaring yang barusan menghantam atap seng rumahnya membuatnya tersentak. Dentuman bom yang barusan menggema berasal dari belakang rumahnya. Tubuh ringkih Rauda semakin bergetar dalam dekapan Salim. Bibirnya merapal doa.
"Syahid, Rauda. Kita pasrah dan berdoa saja. Allahu Akbar. Allhau Akbar."
Suara lirih Salim sedikit menenangkan hatinya. Rauda mengedarkan pandangan, semuanya terlihat pekat. Dadanya berdebar. Cengkeraman tangan pada kaus tipis yang membalut tubuh kurus suaminya semakin erat.
"Ikut aku ke kamar Aisyah."
Salim merangkul lengan Rauda, lalu memapahnya dengan tergopoh-gopoh. Kaki dan tangannya meraba-raba agar ia dan istrinya tidak tersandung. Lelaki ringkih itu terlihat sangat tenang meskipun maut mungkin tengah mengintai keluarganya.
Malam itu sangat mencekam. Rembulan yang biasanya setia menerangi pun kini kehilangan cahaya. Pekat menyelimuti langit Gaza. Asap hitam membumbung tinggi bercampur percikan api merah menyala seperti kembang api yang liar dan mematikan.
Tidak ada bunyi serene ambulans. Tidak ada para aktivis kemanusiaan dan relawan medis. Keadaan masih memanas dan sangat kacau. Mereka hanya akan datang setelah keadaan tidak terlalu genting.
Seorang pria berseragam perwira Israel berlari tergopoh-gopoh menerobos asap hitam di tengah gelapnya malam. Bau mesiu menyeruak, ditambah bau gosong dari tubuh mulai terendus oleh hidung mancungnya.
Aaron mengusap wajah. Dia sedikit terbatuk-batuk saat sesak menyergap dadanya. Sepasang netra elangnya berkelana mengitari rumah-rumah di desa Syaima. Ia berhenti sejenak sambil memegangi kedua lutut. Sayup-sayup dia mendengar rintihan kesakitan, jeritan serta seruan takbir yang biasa ia dengar dari mulut warga Gaza.
Tujuan Aaron saat ini hanya satu yaitu mencari rumah Aisyah dan membawanya pergi dari tempat terkutuk ini. Namun di tengah kabut hitam seperti ini Aaron sedikit kesulitan karena semuanya terlihat buram. Bahkan matanya sudah sangat perih. Aaron yakin saat ini dia sudah berada di persimpangan jalan menuju gang kecil yang akan membawanya ke rumah Salim. Dia segera menyeret kedua kaki panjangnya dengan gontai.
Aaron sama sekali tidak peduli dengan warga sipil yang tengah sekarat meregang nyawa di bawah reruntuhan bangaunan rumah yang telah pasukan pengintai elit IDF kebanggananya hancurkan. Dia hanya peduli pada Aisyah dan anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa ( Sudah Terbit )
RomanceBagai disambar petir, Aisyah tidak percaya ketika perwira Israel yang dulu telah merenggut kesuciannya di penjara datang menemuinya dan meminta maaf padanya secara tiba-tiba. Persetan dengan ayahnya yang merupakan seorang pendeta Yahudi dan sangat m...