Bab 20 | Sebuket Mawar Merah dan Luka

2.3K 214 71
                                    

Aisyah baru saja selesai menuanikan salat duha. Saat ini ia berada di ruang bawah tanah yang sudah Aaron sulap menjadi sebuah kamar luas lengkap dengan kamar mandi, sofa, televisi, ranjang besar dan aksesoris kamar lainnya yang bernuansa putih.

Pria itu sekarang sedang pergi ke sinagog untuk melaksanakan sembahyang sabat sekaligus akan berbelanja kebutuhan pangan dan keperluan lainnya. Aaron menyuruh Aisyah untuk menunggunya di ruang bawah tanah sampai ia kembali.

Lagi-lagi butiran bening hangat berjatuhan menuruni pipinya. Aisyah sungguh ingin pulang ke Gaza. Kemarin ia melihat berita di stasiun televisi bahwa pasukan pertahanan elit IDF kembali menggempur Gaza dengan puluhan rudal. Bahkan Aisyah melihat kabar mengenaskan yang terjadi di Al Quds, tepatnya bentrokan antara kepolisian Israel dengan puluhan warga Gaza yang ingin beribadah di Masjid Al Aqsa.

Kaum Yahudi bebas berkeliaran dan mengotori lantai Masjid Al Aqsa dengan sangat lancang. Sementara warga Palestina yang ingin beribadah harus mendapatkan kekasaran brutal.  Para polisi Israel bersenjata telah menggembok gerbang Al Aqsa dengan penjagaan ketat, sehingga warga Palestina terpaksa harus salat di beranda dengan menggelar tikar. Mereka tak segan-segan menendang, memukuli serta menangkap warga Gaza yang berani melawan.

Para penjajah itu sungguh ingin menguasai Palestina. Aneksasi tanah di Gaza terus terjadi hingga detik ini. Banyak masjid di Al Quds yang diubah menjadi restoran, tempat perjudian bahkan bar. Tak terhitung lagi berapa nyawa warga sipil yang telah syahid di tangan penjajah pada setiap harinya. Pembangunan permukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat bahkan semakin diperluas saja.

"Ya Rabb, lindungilah kami semua dari para Penjajah keji itu. Hamba percaya jika semua yang menimpa kami adalah suratan takdir dari-Mu. Kami sungguh ikhlas menjalani semua ini. Ikhlas bertaruh nyawa demi memerdekakan Palestina."

Suara Aisyah sangat serak. Ia tergugu. Kedua tangannya masih mengapung di udara, menengadah sambil bersimpuh pada sang Khalik. Dzikir, salawat serta doa-doa terus ia rapalkan dengan lirih. Bibirnya bergetar menahan perih hatinya yang teramat sangat.

"Berilah kami kekuatan dan ketabahan. Lapangkanlah dada semua orang yang telah ditinggalkan. Semoga surga Firdaus bagi para syuhada yang telah gugur dan lindungilah langkah kami yang masih hidup dalam mempertahankan bumi Palestina dengan kekuatan iman dan kasih sayang-Mu hingga kami menjemput syahid. Amiin ...."

Aisyah sangat geram dengan semua penindasan ini. Dia juga sangat mengkhawatirkan keadaan Salim, Rauda dan Noura. Hingga sekarang ia belum bisa memberi kabar pada mereka. Lagi pula jika ia memiliki ponsel sekalipun akan susah karena di Gaza sangat susah sinyal.

"Mereka pasti sangat mengkhawatirkanku. Ya Allah, beri hamba petunjuk dan jalan-Mu. Hamba ingin pulang ke Gaza."

****

Aaron tersenyum tipis saat seorang kasir wanita berambut pendek menyapanya. Ia menaruh keranjang berisi sabun mandi cair, beberapa sayuran, roti, minyak, biskuit, selai dan juga beberapa dus susu formula ibu hamil di atas meja kasir.

Kipah putih masih menempel di puncak kepalanya. Saat ini pria itu memakai kemeja putih berlengan panjang yang digulung hingga batas siku. Wajah Aaron berseri-seri. Tidak pernah ia bersemangat seperti ini sebelum Aisyah tinggal di rumahnya. Untuk memenuhi kebutuhan bulanannya biasanya ia selalu mengandalkan Baruch untuk berbelanja.

"Terima kasih."

Beberapa kantung plastik berisi belanjaan tersebut sudah berpindah ke tangan Aaron setelah ia membayarnya dengan lembaran shekel. Ia lantas mengayunkan langkah tegasnya keluar dari supermarket tersebut.

Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa ( Sudah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang