Bab 19 | Kenapa Dia Berbeda?

2.4K 214 43
                                    


Aku seorang Perwira Israel. Tidak pernah takut menghadapi semua peperangan. Bahkan jika ribuan peluru memburu dadaku sekalipun, aku tidak takut. Tetapi kenapa aku sangat takut kehilanganmu, Aisyah?
Beri aku sebuah alasan.

Katakanlah aku gila. Aku sungguh tidak peduli. Kutahu kau sangat memebenciku. Tapi semua itu tidak akan menghentikanku untuk memperjuangkan cintaku hingga aku dapat memenangkan hatimu.

Aku mencintaimu. Bukan hanya sekadar ucapan lisan atupun barisan aksara dalam sebuah puisi.

Aku mencintaimu dan dengan cintaku, aku akan melindungimu. Melindungimu dari apa pun, Aisyah.


Aisyah melipat secarik kertas berwarna merah muda pemberian Aaron tadi pagi, lalu menaruhnya dalam sebuah kotak bersama surat-surat yang lain. Napas pelan berembus dari bibirnya. Jujur saja hati Aisyah sedikit berdebar. Dia sungguh tidak habis pikir kenapa Aaron sangat suka menulis surat seperti ini.

"Kenapa dia berbeda? Kenapa ada tentara Israel sepertinya?"

Selama sepuluh hari tinggal di rumah Aaron, Aisyah selalu mendapat surat cinta dengan kata-kata yang terkadang membuat Aisyah kesal dan berbunga dalam waktu yang sama. Aisyah benci dengan perasaan asing yang akhir-akhir ini sering mengusik hati dan pikirannya. Dia ingin kembali ke Gaza.

Aaron sudah banyak bercerita tentang keluarganya dan Erez yang sangat membenci orang-orang Palestina. Aisyah menelan ludah. Ia sama sekali tidak takut akan kematian, hanya saja dia tidak ingin mati sia-sia di tangan Rabi Yahudi itu.

Aisyah menghela napas, lalu bergegas mengayunkan langkahnya menuju dapur untuk membuatkan minuman. Saat ini Aaron, Bert dan Amit sedang membersihkan ruang bawah tanah untuk persembunyiannya.

****

Ketiga lelaki bertubuh kekar itu masih berkutat dalam ruangan bawah tanah sejak pagi buta. Akhirnya Aaron memutuskan untuk merapikan ruang bawah tanah buat persembunyian Aisyah saat dirinya tidak ada di rumah.

Aaron memang sudah menyuruh Baruch untuk tidak datang lagi ke rumhanya. Akan tetapi ia tetap khawatir. Dia juga tidak mungkin memindahkan Aisyah ke lain tempat karena kesibukannya yang berdinas di Yerusalem. Pria itu sungguh tidak mempunyai opsi lain.

"Astaga! Kapan semua ini akan selesai? Ini sangat membuang-buang waktu."

Entah sudah berapa kali kalimat serupa terlontar dari bibir Amit. Pria tinggi itu mengusap peluh yang mengucur deras dari pelipisnya. Ia baru saja menunpuk kardus-kardus dan beberapa koper besar yang entah berisi apa.

"Jika tidak suka membantuku pulanglah! Tetapi besok aku akan mengirimmu ke Perbatasan dan kau tidak kuizinkan pulang selama satu minggu untuk berjaga di sana."

"Ya Tuhan, itu bahkan lebih berat dari ini. Kalau begitu lebih baik aku membantumu sampai selesai, Letnan."

"Bagus!"

Aaron mendesis. Sepasang mata elangnya semakin berang menatap netra hitam Amit, entah tentara macam apa bawahannya yang satu ini. Dia sungguh tidak habis pikir. Ia menyeret langkah tegasnya menghampiri Bert yang sedang berkutat dengan kuas dan ember besar berisi cat putih. Sahabatnya yang satu itu sudah hampir selesai mengecat seluruh permukaan dinding ruangan bawah tanah dengan sangat rapi.

"Jika kau letih beristirahatlah. Biarkan aku melanjutkannya."

"Tidak masalah, ini tinggal sedikit lagi. Tanggung jika aku tidak menyelesaikannya."

Serpihan Cinta di Beranda Al Aqsa ( Sudah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang